Potret Pendidikan Daerah 3T


Pernah kudengar kisah dari para tetua di kampungku.
Tentang pulau di seberang lautan yang mahsyur.
Orang-orang berduyun-duyun menyambanginya.
Berharap hujan emas dan bermandi berlian.
Walhasil mereka kembali dari rantau dengan rupiah bergelimpangan.

Niatku menjadi guru untuk melunasi janji merdeka yang tak kunjung tunai.
Mendidik mereka yang hidup di daerah paling ujung negeri ini.
Keindahan yang nampak hanya dari satu sisi
Kemahsyuran menjadi buah bibir dimana-mana hanya di satu sisi.
Di sisi lain adalah rimba pedalaman yang tak terjamah
Pelosok negeri yang terabaikan oleh gemerlab warna-warni ibukota.

Semangat membara dari bocah-bocah seolah diredam
Oleh sosok guru yang hanya nama di atas papan daftar pegawai.
Oleh mereka yang menikmati rupiah hanya karena identitas
Bukan karena kerja nyata mendidik anak bangsa.

Hingga harapan mereka mengenyam pendidikan yang layak.
Hanya menjumpai bangunan kosong membisu.
Dan bermain menjadi satu-satunya pelarian sebagai pelipur.

Ada yang hilang dari wajah pendidikan.
Rintihan anak pulau mengema di balik riuh dedaunan.
Kami tak bisa membaca huruf A B C, kata mereka.
Kami tak bisa menghitung angka 1 2 3, kata mereka.
Kami butuh guru yang mengusap kepala dengan hangatnya cinta kasih.

Kaki-kaki mungil mengayun tak beralas.
Sesekali jalan becek membuatnya tergelincir.
Langit-langit tempat bernaung lapuk termakan rayap.
Sewaktu-waktu hujan mampu merobohkan bangunan reyot yang mereka sebut sekolah.

Di tepi kebisingan mereka menjerit dalam diam, diam memeluk harapan.
Di tengah keheningan mereka menggigil dalam kehausan, haus akan pendidikan.

Kedatangan kami bagai rinai hujan di tengah kemarau kerinduan.
Pada sesosok guru pengganti orang tua di sekolah.
Dan bagai sahabat setelah jam belajar usai.
Berbagi ilmu sembari bermain dan bergembira, melintasi garis waktu.

Awan mendung kini tersibak.
Mengganti mentari yang sinarnya mampu menghangatkan setiap saat.
Kita hadir di tengah kegamangan akan solusi pada dunia pendidikan.
Menyingkirkan sekat antara sedih dan bahagia.
Ada harapan yang cobai kita semai.
Menumbuhkan pohon impian di kepala anak pedalaman
Menenun kebaikan di hati mereka.

Apakah 12 purnama telah purna?
Sudah usaikah pengabdian kita?
Nyatanya tangis mereka kembali pecah.
Saat waktu berkata “kami harus pulang”

12 purnama itu masih lekat dalam ingatan.
Tentang bayang canda dan tawa mereka.
Tentang kelucuan yang terkadang muncul tanpa diduga.
Pun tentang hari akhir yang khidmat.
Kami pun masih merindukan saat-saat itu.
Berharap dapat terus mengabdi mesti kontrak belum usai.
Agar tetap melangkah maju bersama mencerdaskan Indonesia.

Created by : Sri Wahyuni, Ahmad Kurniawan, Milawati.

(Dikunjungi : 279 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
0
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
1
Sangat Suka

Komentar Anda

Share