Menjadi Peserta SM-3T, ‘Marantau’ dan Perspektif Perempuan Minangkabau


Pada tahun 2011, pemerintah resmi meluncurkan program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), perekrutan pertama dilakukan pada bulan Agustus. Ribuan sarjana terbaik bangsa dikirim ke berbagai daerah sasaran yang tersebar dari Sabang hingga Merauke sebagai pioneer untuk angkatan berikutnya. Sarjana penddidikan dari berbagai disiplin ilmu diberikan ruang khusus untuk mengisi kesempatan ini. Gerakan ini diinisiasi oleh Kepala Seksi Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud (waktu itu), Bapak Agus Susilohadi. Keprihatinannya terhadap realitas pendidikan di daerah pelosok menjadi latar belakang lahirnya ide yang disampaikan kepada Bapak M. Nuh, Mendikbud kala itu. Ide tersebut diapreasi dengan sangat baik dan berjalanlah program SM-3T

Tidak semua universitas diberi kewenangan melaksanakan seluruh tahapan mulai dari seleksi hingga penjemputan kembali, untuk Sumatera Barat hanya Universitas Negeri Padang (UNP) yang ditunjuk sebagai LPTK penyelenggara. Artinya, alumni dari universitas manapun yang mendaftarkan diri sebagai calon guru SM-3T dan memilih UNP sebagai LPTK, maka setelah lulus akan tercatat sebagai guru SM-3T UNP. SM-3T merupakan program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan Pendidikan Profesi Guru. Kualifikasi untuk mengikuti program ini juga tidak sembarangan. Selain kualifikasi akademik, pengabdian daerah 3T membutuhkan jiwa-jiwa yang berani dan peduli, sebab kondisi di daerah berbeda jauh dengan lingkungan sehari-hari. Semenjak memutuskan untuk mendaftarkan diri, calon guru SM-3T telah dikatakan siap untuk menghadapi berbagai situasi. Tidak seorangpun tahu bagaimana situasi sekolah yang akan ditempati, apakah di tengah hutan, di tengah laut atau di daerah pegunungan. Realitas di lokasilah yang nanti akan menunjukkan bagaimana nasib di pengabdian. Ada yang mengalami nasib lumayan baik (akses mencukupi, tempat tinggal memadai, air, signal, listik dan ketersediaan logistik selalu ada misalnya) dan ada juga yang bernasib kurang baik (dengan kategori sebaliknya). Namun ternyata justru semua keterbatasan itulah yang pada akhirnya membuat pengalaman satu tahun di daerah itu menjadi mahal. Kondisi-kodisi sulit membuat kami percaya bahwa SM-3T adalah program hebat yang menghebatkan para alumninya, lebih-lebih perempuan. SM-3T membuka mata dan menambah fakta bahwa perempuan juga bisa melakukan hal-hal tangguh, layaknya laki-laki pada umumnya. Dalam kamus orang Minang, suatu proses interaksi antara penduduk nagari dan dunia luar dikenal dengan istilah marantau. Meski hanya satu tahun, proses marantau yang dibiayai negara ini setidaknya telah sedikit menggeser perspektif perempuan Minangkabau.

Elisabeth E.Graves, dalam bukunya “Asal-Usul Elite Minangkabau Modern” menjelaskan bahwa kaum perempuan di Minang dulunya tidaklah diizinkan untuk meninggalkan rumah ibunya. Setelahnya hanya perempuan Minangkabau yang paling berjiwa petualang sajalah yang pernah meninggalkan rumah keluarga dan hanya sedikit jumlahnya. Hal ini tentu saja sudah bertolak belakang dengan fakta yang berkembang belakangan. Dengan didasari oleh beberapa faktor seperti kepekaan hati dalam mewujudkan cita-cita negara, totalitas pengabdian, kecintaan terhadap negeri, ditambah pula keinginan untuk menambah pengalaman lewat petualangan geografis, guru-guru SM-3T telah memecah sekat yang selama ini berdiri. Dan rupanya memang keberanian akan membawa pelakunya sampai pada sebuah pemahaman bahwa keluar dari zona nyaman dengan tetap berpegang pada agama adalah sebuah proses pembentukan karakter yang tidak biasa. Banyak guru-guru SM-3T yang awalnya tidak bisa mengendarai motor, memotong ayam, membantu ibu melahirkan, selama di penempatan akhirnya bisa (karena dipaksa oleh keadaan). Mereka yang sebelumnya manja, bisa mandiri. Yang awalnya egois, bisa lebih menempatkan diri. Pembauran budaya, adaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda, baik lingkungan alam lebih-lebih lingkungan sosial telah membentuk pola pikir yang terbuka terhadap perbedaan. Tidak semua daerah pengabdian welcome terhadap pendatang, dalam hal ini upaya mencari solusi dengan melakukan berbagai pendekatan hingga akhirnya dekat dengan masyarakat dan anak didik telah mengajarkan penerapan problem solving yang telah diajarkan di bangku kuliah.

Setelah satu tahun, masa tugas berakhir, guru-guru SM-3T dijemput. Ini adalah momen-momen pembuktian bagaimana penerimaan seorang guru di mata muridnya. Barisan anak-anak yang menghapus air mata ketika mengantri untuk memeluk dan mengucapkan doa perpisahan, juga kado-kado yang diserahkan setelah dibeli dengan menyisihkan uang jajan, merupakan bukti yang tak dapat disangkal, bahwa mereka menyayangi gurunya.  Mengajar di daerah yang serba terbatas baik itu dari segi ketersediaan sarana prasarana, media pembelajaran dan daya tangkap peserta didik namun tetap mengusahakan yang terbaik bagi mereka, memberikan motivasi dan perhatian, mengajari mereka mulai dari hal-hal kecil, seperti memotong kuku, mengelap ingus, merapikan kerudung, berjalan kaki melewati cadas, menyeberangi sungai, melewati jalan tanah yang basah untuk sampai ke sekolah, setidaknya telah membentuk setumpuk kesan dan pengalaman bahwa merantau untuk sementara, jauh dari orang tua, bagi perempuan Minang telah menguatkan identitasnya dan di sisi lain telah membelokkan perspektif ‘tidak hanya bujang yang harus merantau’. Hari ini jumlah perempuan Minang petualang telah berkembang. Selama yang dilakukan adalah hal-hal yang positif, maka perempuan Minang tidak selamanya harus di rumah. Ada kalanya dia harus keluar dan menjauh untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh

Editor: HaeR

(Dikunjungi : 53 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
2
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
7
Sangat Suka

Komentar Anda

Share