Perempuan dan Pendidikan


Sejarah telah mencatat dengan sangat rinci bahwa perkembangan dan kemajuan pendidikan negeri ini tidak terlepas dari usaha kaum perempuan. Pada abad ke-18 lahir perempuan-perempuan pejuang yang tak disangka akan bergerak masif dalam memajukan pendidikan. Sekolah untuk kaum perempuan mulai muncul pada tahun 1907, atas prakarsa RA Lasminingrat. Setelah itu lahirlah sekolah-sekolah kaum ibu lainnya yang secara garis besar dapat disimpulkan fokus pada pengajaran keterampilan. Jauh sebelum RA Kartini (yang hari lahirnya baru saja diperingati pada 21 April kemarin) didengungkan sebagai tokoh emansipasi, RA Lasminingrat telah pemulai perjuangannya untuk memajukan pendidikan kaum perempuan. Ia didaulat sebagai tokoh intelektual perempuan pertama Indonesia. Ia membaca lalu menulis, ikut pula menerjemahkan buku-buku Belanda ke dalam Bahasa Sunda. Ketika dipinang, ia meninggalkan dunia sastra dan fokus pada pendidikan perempuan. Pada tahun 1907, ia mendirikan Sekolah Keutamaan Istri yang mengajarkan berbagai jenis keterampilan seperti memasak, menenun dan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga kepada kaum perempuan seusianya. Ini pula lah yang kemudian dilanjutkan oleh Dewi Sartika pada tahun 1914. Namun pada tahun 1911, Rohana Kudus, wartawan wanita pertama juga telah mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang, Sumatera Barat. Kemudian muncul pula Rahimah El Yunisiyah yang mendirikan konsep pendidikan muslimah Indonesia yang pertama dengan nama Madrasah Lil Banat yang kini dikenal dengan Diniyah Putri. Pada tahun 2003, keluar nama Butet Manurung, yang bergerak mendirikan Sokola Rimba untuk anak-anak di pedalaman Jambi. Ada Malala Yousafzai (dalam skala dunia), perempuan berkebangsaan Pakistan yang menerima nobel perdamaian dalam upayanya melawan penindasan anak dan bertujuan untuk pendidikan perempuan.

Nama-nama tersebut merupakan representasi dari pergerakan kaum perempuan dalam usaha memajukan pendidikan. Masih banyak perempuan-perempuan hebat yang namanya tidak muncul ke permukaan namun melakukan hal heroik yang berdiri di atas prinsip pendidikan. Tidak tercatat dalam sejarah, namun bergerak dan berdarah. Mereka melakukan gerakan akar rumput yang menopang kokohnya negeri ini. Perempuan-perempuan yang mengajar di batas kota di sudut-sudut desa, dengan gaji seadanya, atau bahkan hanya digaji Tuhan sebab keikhlasan. Perempuan-perempuan honorer yang sudah tua dimakan usia, atau juga perempuan muda yang harusnya bisa bekerja lebih baik namun memilih menjadi guru sebab panggilan jiwanya, seperi sosok Bu Mus dalam Novel Laskar Pelangi Andrea Hirata.

Membalik sejarah adalah bercermin muka, untuk melihat sejauh mana kita beranjak dari apa yang telah tersaji sebelumnya. Perempuan-perempuan Indonesia yang bergerak dalam keterbatasan saja mampu membuktikan. Lalu dimana posisi kita? Kita tidak hidup di masa feodalisme, yang hanya memberi ruang pada anak bangsawan untuk mendapatkan pendidikan. Perempuan tidak lagi di rumah, ia bebas kemana saja. Konstruksi berpikir masyarakat sudah berbeda. Tidak ada ketentuan adat yang kaku yang membatasi ruang gerak perempuan untuk melakukan apa yang dia mau. Perempuan sudah dibebaskan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, yang harusnya dibarengi pula dengan kontribusi nyata.

Opu Daeng Risadju meminta untuk diiris dadanya dan dikeluarkan darah bangsawan yang ada dalam tubuhnya agar ia bisa berjuang lepas. Lalu kita, perempuan-perempuan yang tidak terlahir dari darah bangsawan, apa yang sudah kita lakukan? Jika hingga hari ini kita masih betah menjadi perempuan warna warni yang sibuk selfie, mengatur alis dan live di instagram tanpa pernah peduli pendidikan, barangkali ada yang salah pada pikiran, kemauan dan perasaan (meminjam konsep Tan Malaka). Perempuan adalah bagian dari peradaban dan tidak ada sebuah kemajuan tanpa peran perempuan. Maka bergeraklah. Kita bisa memulainya dari hal yang sederhana, mengajak menulis dan membaca misalnya. RA. Lasminingrat, Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Rahimah El Yunisiyah menjadi besar sebab mereka membaca.

Selamat hari pendidikan nasional! Semoga tiap-tiap kita semakin teguh hatinya, dalam mendidik dan memurnikan karakter bangsa yang religius, peduli dan peka.

Gambar: www.konde.co

(Dikunjungi : 64 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
1
Terganggu
Terhibur Terhibur
1
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
2
Sangat Suka

Komentar Anda

Share