Buru-buru menuju Buru


Merantau. Menang atau mati. Pesan yg disampaikan Bapak Muhajir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membangunkan anganku bahwa tinggal di Buru untuk selamanya adalah sebuah keniscayaan.

Perjalanan panjang aku dan 3 orang teman pun dimulai. Sebut saja Fitri Aria HSB, Umul Ma’rufah, Kaharman, dan saya, Ulimah Rianasari. Empat orang perwakilan ini datang lebih dulu ke penempatan dari total 126 peserta GGD yang lolos, ke kantor dinas Pendidikan dan Kebudayaan di kabupaten Buru untuk melapor diri dan mengurus administrasi serta yang paling penting adalah mengajukan permohonan agar dikeluarkan surat pemanggilan resmi kepada peserta GGD yang lolos di Kabupaten Buru. Karena sejak dikeluarkannya pengumuman kelulusan pada Juni 2017 hingga September ini belum juga ada kejelasan pemanggilan untuk bertugas. Sementara 122 GGD harus bersiap diri menunggu di rumah untuk dipanggil secata resmi dan bersyukur karena mereka diberi sedikit lagi waktu untuk berkumpul bersama orang-orang yang dicintai.

Sebelum berangkat menuju Buru, kami menerima undangan untuk menghadiri pelepasan secara simbolis di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama 300 perwakilan GGD dari seluruh wilayah penugasan se-Indonesia. Yaa, kami adalah orang pilihan yang terpilih dan dipilih lagi, seperti itu menurut bapak Mendikbud pada sambutannya saat acara pelepasan simbolis berlangsung.

Selama 3 hari kami menginap di hotel Golden Boutique, Jakarta Selatan. Awalnya kami berempat adalah orang asing, tidak pernah bertemu sebelumnya. Pertemuan pertamaku dengan Kaharman di meeting room saat selesai acara pembukaan. Kesan pertamaku saat bertemu dengannya, kulihat dia adalah orang yang dewasa, santun, sangat berbeda dengan apa yang sering kudengar di grup. Kami memutuskan untuk makan sore bersama. Di sana pertemuan pertamaku dengan Fitri, yang sekarang aku sebut Kak Pit dan Umul yang membawa serta suaminya. Dari situ hubungan kami berempat menjadi lebih hangat dan tanpa terasa muncul rasa kekeluargaan.

Kamis pukul 21.30 WIB aku dan 3 orang peserta GGD yang terlebih dahulu datang ke tempat penugasan di kabupaten Buru tiba di bandara Soekarno Hatta. Aku, Kak Pit dan Kaharman, sementara Umul dan suaminya harus naik pesawat berbeda karena beberapa hal. Untungnya jadwal penerbangan kami tidak jauh berbeda. Kami pun memutuskan untuk bertemu di bandara Pattimura.

Ada perasaan senang karena yang dinantikan selama hampir setahun ini telah tiba, sedih karena harus berpisah dengan keluarga dan orang-orang yang dicintai untuk waktu yg lama, haru karena di tempat baru kami akan memulai kehidupan, tetapi ada satu emosi yg mendominasi perasaan kami yaitu rasa tidak percaya, seolah-olah kepergian kami hanya sebuah mimpi. Kaharman, rekan satu perjalanan berkali-kali minta “ditempeleng” untuk memastikan bahwa perjalanan ini bukan mimpi, perjalanan ini nyata dan dalam hitungan jam dipastikan kami sudah berada di zona waktu yg berbeda.

Perjalanan ini meninggalkan luka yang amat pedih. Berpisah dengan keluarga tidak pernah kubayangkan akan sesakit ini. Pengorbanan, ini adalah makna pengorbanan sesungguhnya. Saat seorang anak harus meninggalkan orang tuanya, orang tua harus meninggalkan anaknya, seorang guru harus meninggalkan murid-muridnya, suami/istri harus meninggalkan pasangannya.

Begitupun Kak Pit harus rela berpisah jarak dan waktu dengan suaminya. Bandara menjadi tempat berpisah paling haru. Walupun dicoba untuk tegar, tetapi kesedihan tak dapat disembunyikan dari pasangan ini.

Beberapa teman pun harus rela berpisah dengan anaknya. Medan yang sulit membuat orang tua enggan membawa anak-anak mereka tinggal bersama di tempat tugas. Banyak pertimbangan yg harus diambil apapun kuyakini itu semua demi orang yg mereka sayangi.

Akhirnya mereka harus rela melepas raga masing-masing, mengasuh rindu yg takan pernah bisa dibayangkan sesaknya.

Jumat pukul 06.15 WIT kami tiba di bandara Pattimura. Bau alam Ambon sudah tercium meninggalkan aroma Jakarta yg memenuhi paru-paru beberapa hari belakangan ini.

Enam jam perjalanan udara membuat kami melakukan penyesuaian ala kadarnya. Masih dengan membawa sejuta perasaan. Aku, Kak Pit, dan Kahardut pun jumpa kembali dengan Umul dan suaminya. Formasi lengkap.

Sampai sini kebingunganpun datang. Tak ada keluarga, sanak saudara yg bisa ditumpangi untuk tinggal. Tawaran dari kawan-kawan pun tak kami dapati di sini. Sunyi, senyap, hening, bimbang, ngambang…

Dengan jurus malu bertanya tak bisa pulang, kami pun mencoba mengobrol dengan orang-orang sekitar yang akhirnya kami disarankan untuk langsung menuju pelabuhan.

Kami pun memutuskan untuk menuju Buru dengan ferry. Lagi pula pihak pemerintah Kabupaten Buru sudah menunggu kedatangan kami yang tidak sempat menjelajah kota Ambon waktu itu karena harus segera melapor diri ke dinas PK yang awalnya kami kira Sabtu adalah hari libur kerja kedinasan.

Ferry dari pelabuhan Ambon menuju Buru berangkat pukul 20.00 WIT dengan tiket seharga Rp. 120rb kami sudah mendapatkan tempat tidur kelas ekonomi.

Perjalanan laut pun dimulai. Pengalaman pertama kali seumur hidup, terombang ambing di lautan selama kurang lebih 8 jam. Seru, mengasyikan namun tetap saja terasa asing.

Sabtu pukul 04.30 WIT kami berlabuh di pelabuhan Namlea, Pulau Buru. Lagi-lagi perasaan takjub pun datang mengisi sanubari. Tak henti bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan nikmat pengalaman luar biasa yang tak pernah datang dalam mimpi sekalipun.

Sejenak kupandangi alam Buru, kuperhatikan rupanya, kubaui nafasnya. Di sini mungkin akan kuhabiskan sisa hidup, berbagi asa dengan alam asing yang telah membuatku jatuh cinta.

***

Dari Namlea-Airbuaya-Walmatina

UR

(Dikunjungi : 143 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
0
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
1
Sangat Suka

Komentar Anda

Share