SM-3T dan Mengeja Kalam Ilahi


Sore yang terik tidak menyurutkan semangat anak-anak Kampung Sara untuk melangkahkan kaki menuju mesjid. Mereka berlarian menghampiri setelah melihat kedatangan kami. Kampung Sara merupakan salah satu kampung di Distrik Kaitaro, kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Penduduknya mayoritas beragama Kristen Protestan, namun sebagian kecil ada yang beragama Islam.

Bacaan doa belajar dan surah Al-Fatihah menggema di ruangan 6 x 5 meter itu. Berdinding papan, lantai berlapis semen, dan atap yang mulai lapuk. Beberapa dari anak-anak itu telah menghafalnya dengan baik, sebagian masih terbata-bata, sedangkan satu dua orang hanya berusaha menggerak-gerakkan bibirnya mengikuti bacaan teman di sebelahnya. Aku merinding mendengar bacaan Qur’an mereka. Anak-anak papua pedalaman mampu melafazkan kalam ilahi dengan khidmatnya.

Lora, gadis kecil yang tinggal tepat di sebelah mesjid dengan langkah seribu menggandeng adiknya Gonzales yang berjalan gontai hingga nyaris terseret di belakangnya. Lora tak ingin terlambat, pun tak ingin membiarkan adiknya tidak ikut belajar mengaji bersamanya.

“Bu guru, maaf dong terlambat” kata Lora yang telah berdiri di depan pintu mesjid.
“Lora kenapa terlambat?” tanyaku mengamatinya
Dong baru pulang tangkap ikan bu guru, Gonzales juga lama dong kasi bangun” jawab Lora dengan dialeg khas papua.
“Oh iya tara apa-apa. Kalian masuk sudah” ajakku menjemput mereka, menggandeng tangan Gonzales yang tampak masih mengantuk.

Lora dan Gonzales adalah saudara. Lora sudah duduk di kelas 4 SD dan bacaannya sudah di Iqra 3. Sedangkan Gonzales belum masuk sekolah dan masih mengenal huruf Hijaiyah. Lora dan Gonzales adalah bagian dari belasan anak-anak yang rutin ikut belajar mengaji.

“Gonzales, bacaannya sudah sampai mana?” tanyaku.
Su sampe iqra satu bu guru” jawabnya dengan mantap.
“Sudah sampai huruf apa?” Tanyaku memastikan.
“Huruf ba bu guru” jawab Gonzales tersenyum memperlihatkan gigi-giginya.
“Kita lanjut di huruf ta yah” dia mengangguk berkali-kali dengan cepat. Lantas mulai mengeja iqra di genggamannya.

Bersyukur sekali berada di tengah anak-anak Papua yang punya semangat tinggi mempelajari kalam Ilahi. Meski awalnya cukup sulit memahamkan mereka akan pentingnya belajar mengaji. Butuh pengulangan berkali-kali juga bagi mereka untuk bisa paham dengan bacaan iqra tersebut.

Sekarang mungkin mereka tak lagi memenuhi mesjid di Kampung Sara. Selepas tidak adanya guru SM-3T, tak ada lagi guru yang beragama islam yang mampu mengajari mereka mengaji. Sebagian besar guru di sana beragama Kristen.

Mesjid kembali sepi, menjadi bangunan yang tak digunakan sebagaimana fungsinya. Hanya bangunan tua yang mulai lapuk di setiap bagiannya. Telah dua tahun, kami meninggalkan kampung itu. Ramadhan kali ini membuat kami rindu, pun prihatin dengan keadaan muslim minoritas di pedalam papua.

“Teruslah mengeja kalam Ilahi kita, Nak. Meski lembaran iqramu belum bisa berlanjut” lirihku dalam hati.

(Dikunjungi : 145 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
2
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
3
Sangat Suka

Komentar Anda

Share