Membentuk Karakter Siswa dengan Kearifan Lokal Bugis-Makassar


Seorang teman saya pernah menceritakan tentang pengalamannya saat mendapatkan tugas melakukan observasi di sebuah sekolah dasar unggulan di Kota Makassar. Bersama beberapa teman, dia berkunjung ke sekolah yang dimaksud. Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan sesampainya mereka di sana. Dan itu, sangat di luar dugaan.

Kami bersepakat bahwa sekolah unggulan adalah sekolah yang menang pada semua komponen. Termasuk kompetensi guru yang bisa diandalkan, hasil belajar siswa yang memang di atas rata-rata, begitupula karakter siswa yang bisa dibanggakan. Dua komponen yang disebutkan di atas pada sekolah tempat mereka melakukan observasi, katanya sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, poin ketiga tentang karakter siswa, teman saya tadi merasa malah jauh dari harapan.

Ketika tiba di depan sebuah kelas, dia menanyakan letak kantor kepala sekolah kepada seorang siswa yang ternyata dijawab dengan acuh tanpa bersuara sedikitpun. Siswa itu hanya menunjuk ke arah ruangan paling barat lalu berlari meninggalkannya. Rombongan teman saya tadi saling bertatapan satu sama lain sambil tersenyum-senyum. Saat berjalan di lorong kelas, mereka juga menemui perlakuan siswa yang tidak jauh berbeda. Beberapa orang siswa berlari dan menabrak mereka. Tidak ada yang meminta maaf atau basa-basi sekadarnya. Ada yang berhenti sejenak tetapi menatap dengan sinis.

Beberapa waktu kemudian, penulis bersama beberapa teman pun mendapatkan tugas yang sama tapi di sekolah dasar yang berbeda. Ternyata kami menemui karakter siswa yang kurang lebih sama. Saat kami melakukan observasi di dalam kelas, beberapa orang siswa kedapatan sedang bermain ponsel, ia bergeming padahal gurunya sudah menegur berkali-kali. Guru kelas lalu menyita beberapa ponsel itu meskipun siswa tadi menatap sinis sambil menggerutu.

Sipakatau

Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, Bapak Irman Yasin Limpo, pada suatu seminar yang penulis ikuti pernah membahas tentang kata ‘tabeq’ untuk dilestarikan di sekolah-sekolah. Bila anda berkunjung ke sekolah dasar manapun di Sulawesi Selatan, kemungkinan besar anda tidak lagi mendengar kata itu diucapkan oleh siswa.

Tabeq dalam Bahasa Indonesia berarti permisi, memohon diri, atau memohon ijin. Akan tetapi dalam pengucapannya menurut etika Bugis-Makassar sebaiknya dilakukan sambil sedikit membungkukkan badan, lengan lurus sejajar dengan paha, telapak tangan dibuka sambil menatap mata orang yang dimaksud dan tersenyum.

Makna dari tabeq ini ialah menghargai orang yang kita sedang lewat di hadapannya. Secara tidak langsung, dengan mengajarkan budaya tabeq kepada siswa, kita juga telah mendidiknya untuk selalu ramah sama semua orang. Apalagi terhadap orang yang lebih tua. Inilah yang dimaksud dengan ‘sipakatau’ dalam budaya Bugis-Makassar yang dalam terjemahannya berarti ‘saling memanusiakan’. Akan tetapi, jangankan untuk orang yang baru saja datang berkunjung ke sekolahnya, siswa di sekolah dasar sangat jarang melakukan hal tersebut bahkan pada gurunya sendiri.

Sipakalabbiriq

Sipakalabbiriq berarti saling menghormati. Barangkali jika berkunjung ke Sulawesi Selatan, anda akan mendengar beberapa kata asing meskipun sebenarnya sedang berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Kata ‘iyeq’, ‘kita’ dan imbuhan ‘-ki’  adalah yang paling sering akan anda temui. Sebenarnya bukan karena tidak mengerti kaidah, hanya saja karena sudah melekat dan ada perasaan tidak enak menggunakan sinonim Bahasa Indonesia-nya, itulah sebabnya kata-kata itu lebih sering digunakan.

Kata ‘iyeq’ berarti ‘iya’ dalam Bahasa Indonesia. Dalam bahasa Makassar, terdapat dua kata yang sinonim yakni kata ‘iyo’ dan ‘iyeq’. Namun dalam penggunaannya terhadap orang yang dianggap lebih tua dan atau dihormati, penggunaan kata ‘iyeq’ adalah hal yang wajib. Itu akan dianggap lebih sopan.

Penggunaan imbuhan ‘-ki’ pun sama maksudnya. Yaitu untuk menunjukkan penghargaan dan penghormatan kepada lawan bicara. Imbuhan ini berfungsi untuk mempersilakan. Contohnya pada kata makanki yang berarti silakan makan atau pada kata majuki yang berarti silakan maju. Imbuhan ini juga memiliki sinonim yaitu imbuhan ‘-ko’. Hanya saja imbuhan yang terakhir disebutkan, dalam penggunaannya tidak menunjukkan sikap sopan terhadap lawan bicara.

Adapun kata ‘kita’ sebenarnya sinonim dengan kata ‘kau’ dalam Bahasa Indonesia. Namun meskipun memiliki arti yang sama, orang-orang Bugis-Makassar menganggap bahwa tingkatan penggunaan kata ‘kita’ akan lebih sopan kepada lawan bicara dibandingkan dengan kata ‘kau’ yang dianggap kasar.

Dalam kearifan lokal Bugis-Makassar, kita kerap menemui dua kata yang sebenarnya sama artinya tapi berbeda penggunaannya. Namun sekali lagi, bahwa kata-kata yang diucapkan tetaplah harus seirama dengan gerak tubuh pada saat mengucapkannya. Kata-kata yang disebutkan di atas, seyogyanya juga diucapkan dengan posisi kepala yang sedikit menunduk dan tersenyum. Mungkin dengan mengajarkan hal-hal kecil ini kepada siswa kita, peluang karakter sipakalabbiriq atau saling menghormati akan lebih mendarah daging.

Sipakaingaq

Kearifan lokal yang selanjutnya ialah sipakaingaq. Dalam Bahasa Indonesia berarti saling mengingatkan. Bisa dibayangkan barangkali jika dalam sebuah kelas, karakter seperti ini sudah terbentuk. Guru kemungkinan tidak akan sering-sering lagi dipusingkan dengan tingkah siswa yang bermacam-macam. Sebab akan tercipta dengan sendirinya kesadaran antarsiswa. Bila dibentuk kerja kelompok misalnya, mereka akan saling mengingatkan untuk bekerjasama. Begitu pula pada saat diberikan tugas individu. Siswa-siswa akan saling mengingatkan untuk tidak menyontek.

Seperti sebuah mobil, sipakaingaq adalah setirnya. Bila mungkin ada yang keluar dari sikap yang seharusnya, kita akan beramai-ramai mengingatkan untuk kembali ke jalur semestinya.

Siriq na Pacce

Siriq na Pacce merupakan falsafah hidup yang senantiasa dijunjung tinggi oleh masyarakat Bugis-Makassar. Kedua hal ini tidak bisa terpisahkan dan sudah mengakar kuat dalam nadi. Merujuk pada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, siriq berarti perasaan malu, sedangkan pacce berarti perasaan iba.

Dalam lingkungan sekolah semisal pada saat ujian semester, siswa yang menyontek jika sudah paham betul tentang makna falsafah di atas, sebenarnya telah melakukan perbuatan yang menodai siriq-nya. Apatah lagi jika mengambil barang yang bukan miliknya. Sedangkan bila pacce juga telah dengan baik dipahami, ketika mendapati teman yang butuh bantuan maka tanpa diminta lagi mereka akan langsung turun tangan untuk segera membantunya.

Barangkali siriq na pacce inilah yang menjadi induk dari sikap sipakatau, sipakalabbiriq dan sipakaingaq yang telah dibahas sebelumnya di atas. Sebab dengan begitu, perasaan malu saat tidak menghormati, menghargai, dan berlaku sopan juga perasaaan simpati pada orang lain akan muncul dengan sendirinya.

Setidaknya dengan membawa kearifan lokal masuk ke sekolah dasar yang notabene adalah awal pembentukan karakter siswa, ada dua hal yang bisa kita petik sebagai hasil. Pertama, kebudayaan lokal akan tetap lestari dalam ingatan dan perilaku siswa-siswa kita. Hal tersebut akan menjadi identitasnya sebagai orang Bugis-Makassar sebagai suatu bagian dari kekayaan budaya di Indonesia. Kedua, mandat kurikulum 2013 yang menekankan pada pembentukan karakter akan berada pada capaian yang lebih baik. Dengan begitu, nawacita terkait revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintah pun bukanlah isapan jempol belaka.

(Dikunjungi : 673 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
7
Sangat Suka

Komentar Anda

Share