Pendidikan Anak Pelosok (Pendidikan layaknya pesta, yang tidak semua anak negeri mendapatkan undangan)
Matahari belum juga terik di sekolah pesisir ini. Udara masih terasa segar, basah, seperti dedaunan yang berselimut embun. Tapi, saya sudah berada di lapangan sekolah, memukuli bel yang mirip tabung gas elpigi ukuran 3 kg. Pukul 07.15 WIT, baru satu-dua anak saja yang terlihat berada di sekitar sekolah. Padahal, peraturan yang ditetapkan adalah “siswa datang ke sekolah maksimal pukul 07.15 WIT”.
Kegiatan di sekolah selalu diawali dengan agenda apel pagi. Momentum apel pagi selalu saya manfaatkan untuk melatih kedisiplinan anak-anak. Anak-anak pesisir seperti mereka, harus digembleng dengan serius cara menghargai waktu untuk bersekolah. Pada awal kedatangan saya ke sekolah tersebut, hampir 90 % siswa selalu datang terlambat ke sekolah. Itu berarti sekitar 40 siswa dari 45 siswa di sekolah itu selalu datang terlambat. Belum lagi mereka datang tanpa memakai alas kaki, tanpa membawa tas, dan beberapa anak datang tanpa mandi. Begitulah mereka. Alhasil, mereka harus menebus kesalahannya dengan berdiri menghormat pada bendera merah-putih dalam waktu yang sama dengan keterlambatannya. Atau, membersihkan sampah-sampah di sekitar sekolah.
Pendidikan bagi anak pelosok agaknya bukan hal istimewa yang harus mereka persiapkan secara matang. Bersekolah pun demikian, seperti hanya untuk mengisi sejenak waktu luang di pagi hari saja. Dan, semua pemikiran negatif tentang dunia pendidikan di masyarakat pesisir harus bisa diubah. Dari sinilah cara kreatifku mengajar dimulai: SMP Negeri 3 Samang, Kec. Pulau-Pulau Aru, Kab. Kepulauan Aru, Maluku.
Ironis
Jangan dibayangkan sekolah-sekolah di Kab. Kepulauan Aru seperti di Jawa yang bisa diakses dengan sepeda motor, mobil, atau angkutan kota lainnya. Untuk menjangkau kampung di mana sekolah itu berada, kita harus mengendarai kapal-kapal motor. Medan yang dilalui juga lautan lepas, dengan ombak besar yang menggulung nyali kita.
Saya rasa, pendidikan di Indonesia ini benar seperti sebuah pesta. Anak-anak yang diundang datang adalah mereka yang berada di kota-kota besar, sedangkan anak-anak di pelosok tidak pernah tahu betapa meriahnya pesta pendidikan di negerinya. Sekolah tanpa satu pun buku pelajaran, tanpa satu pun sarana penunjang kegiatan belajar-mengajar, dan sekolah yang sering libur lantaran tidak ada guru yang hadir. Jika bukan karena gedung sekolah, bangku-bangku, dan papan nama sekolah, barangkali orang-orang tidak menyebutnya sebagai sebuah “sekolah”.
Belum lagi jika musim ikan, lobster, atau telur. Anak-anak banyak yang tidak menyambangi sekolah lantaran pergi menyelam. Beberapa anak tergiur rupiah yang bisa mereka kantongi setelah mendapatkan tangkapan. Beberapa yang lain justru diminta oleh orang tuanya untuk ikut pergi ke laut. Dari laut mereka mendapatkan tangkapan, sedangkan dari sekolah mereka tidak mendapatkan apa-apa, sekedar menghabiskan waktu saja. Jika sudah begini, saya harus telaten mengetuk satu pintu ke pintu yang lain untuk menjemput anak-anak agar pergi sekolah. Juga, memberi pemahaman kepada orang tua akan pentingnya bersekolah bagi anak-anaknya ketimbang ke laut.
Lelah memberi pemahaman di masyarakat, di sekolah pun begitu. Namun, tentu saja tidak ada kelelahan yang tidak Tuhan balas dengan kebaikan. Ketika di sana, saya sering membayangkan keadaan yang berbanding terbalik dari tempat saya berasal. Berdiri mengajar di sebuah kelas yang lengkap dengan fasilitas belajar tentu terasa begitu nyaman. Namun, bukan hal seperti itu yang saya temui di sini. Berdiri memandang tatapan mata anak-anak pesisir yang berkulit hitam, berambut keriting, dan melongo membuat hati saya teriris. Negara saya kaya, tapi kenapa bisa anak-anaknya tumbuh dalam keadaan yang begini memprihatinkan. Bersekolah dengan keadaan seadanya. Saya sering kecolongan meneteskan air mata ketika mengajar.
“Ibu, barang kenapa Ibu pu mata merah? Ibu sedih ya lihat katong? Seng kaya Ibu pu anak murid di Jawa kah apa?” Begitu kata seorang murid, Gusti Rumlawang. Banjir di dalam dadaku.
“Ibu, novel itu apa?”
Saya adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia di sini sesuai silabus yang harus saya taati adalah perkara yang cukup susah. Bagaimana tidak, untuk usia SMP saja beberapa anak masih perlu belajar membaca dengan mengeja, bagaimana jadinya bila saya memaksa untuk menjejalkan materi-materi kepada mereka. Akhirnya, saya putuskan untuk menyampaikan materi dengan pelan-pelan, diselingi permainan, dan menggunakan media di sekitar sekolah yang bisa dipakai. Bagi saya, PR utama saya adalah membuat mereka termotivasi untuk selalu belajar, untuk selalu masuk sekolah. Bukan untuk menjejali mereka dengan tuntutan materi-materi yang sudah sangat jauh ketinggalan sebenarnya.
“Ibu, novel itu apa?” Pertanyaan polos, Faisal Kudubun ketika saya memberikan materi seputar unsur intrinsik.
Sontak saya pun tercengang. Siswa kelas IX, siswa-siswa peserta UN tidak mengetahui apa itu novel. Saya seperti sedang mengajar anak usia TK saja. Demi menjawab pertanyaan itu, saya berjanji akan mendatangkan novel-novel, juga bacaan lainnya ke sini. Bahkan, bagaimana caranya sekolah ini harus memiliki perpustakaan.
Saya mulai merogoh kantong, jika ada uang lebih saya belanjakan kamus Bahasa Indonesia di kota kabupaten. Saya juga transfer uang ke rumah, pesan koran, beberapa buku bacaan, alat tulis, dan soal-soal UN dari orang tua di Jawa.
Dan, Tuhan menggenggam mimpi saya untuk mendatangkan buku-buku bacaan. Melalui komunikasi dengan beberapa teman di Jawa, akhirnya saya mendapat bantuan. Komunitas seorang teman di Korea, (ICC-Indonesian Community in Corea) memberikan donasi uang sebesar 5 juta. Lalu, saya meminta seorang teman di Jogja untuk membelanjakan buku dan mengirim paket via pos ke sini. Seorang teman di Borneo juga membantu dengan mengirimkan 45 kilogram buku-buku pelajaran dan bacaan dari perpustakaan sekolah Pertamina tempatnya bekerja. Beberapa teman kuliah juga dengan rela hati mengirimi saya novel. Meskipun hanya sebiji-dua biji, tapi ketulusan mereka jauh lebih besar dan tak ternilai harganya.
Setelah saya pergi nanti, harapannya tidak ada pertanyaan serupa yang dilontarkan seorang siswa kepada gurunya. “Ibu, novel itu apa?”.
Tas Kardus, Menyiasati Keterbatasan Ketiadaan Tas Sekolah
Di sekolah ini, para siswa tidak memiliki buku pegangan satu pun. Satu-satunya buku yang mereka miliki adalah buku tulis dengan lembaran tipis-tipis dan bersampul foto-foto artis Indonesia. Begitu pula para guru. Buku paket yang dimiliki adalah pinjaman kepala sekolah dari SMP di kota kabupaten. Guru harus selalu panjang akal untuk bisa mengajar tanpa buku sekali pun. Murid-murid ini, terkadang menambah panjang rentetan masalah akan kekurangan buku. Bagaimana tidak, dengan keterbatasan buku, guru harus menjelaskan secara terperinci setiap materi yang mereka sampaikan. Sementara itu, tugas siswa adalah mencatat hal-hal yang penting di dalam buku tulisnya. Sayangnya, banyak anak yang setelah pulang sekolah tidak bisa menjaga bukunya dengan baik. Esoknya mereka datang ke sekolah dengan buku tulis baru. Hilanglah sudah materi hari kemarin, lebur bersama deburan ombak.
Saya sering jengkel ketika berdiri di depan kelas, bertanya pada anak-anak, “Coba dibuka buku kalian! Kemarin Ibu su ajar kamong sampai materi apa?” Dan tidak ada jawaban, selain suara angin yang berdesir.
Saya ulangi pertanyaan saya lagi, dan hasilnya sama. Tidak ada jawaban. Lalu saya panggil nama seorang siswa.
“Ibu, barang beta pu buku Bahasa Indonesia su hilang lai. Beta adik ada pi bawa pergi main.” Rudi Djabumir menjawab.
Datang ke sekolah hanya membawa sebuah buku tulis saja. Menulis semua materi dari berbagai pelajaran dalam buku yang sama. Lalu, sepulang sekolah meletakannya begitu saja entah di mana. Kehilangan buku tulis, lupa meletakkan di mana buku-buku itu adalah kebiasaan mereka. Saya harus panjang akal mencari solusi. Bagaimana mereka bisa menyimpan buku dalam satu wadah yang sama, sementara banyak dari mereka yang tidak memiliki tas sekolah.
Akhirnya, saya putuskan untuk mengajari mereka membuat tas dari kardus bekas. Hitung-hitung, saya sekalian mengajar materi teks prosedur kepada mereka. Dengan peralatan dan bahan seadanya, kami pun mulai berkreasi. Hari sebelumnya, saya mendatangi kios-kios untuk meminta kardus bekas, juga membeli beberapa lembar kertas minyak untuk menutup permukaan karton. Beberapa anak membantu saya. Satu hal yang sulit mendapatkan bahan-bahan seperti ini di kampung. Segala bahan yang lengkap hanya tersedia di kota kabupaten. Sementara itu, satu-satunya barang yang sempat saya beli ketika di kota kabupaten hanyalah beberapa botol lem kertas. Saya hampir putus asa, bagaimana bisa mereka menempelkan sisi-sisi kardus dan kertas minyak tanpa lem.
Akan tetapi, Tuhan selalu bersama orang-orang yang tidak putus asa.
“Ibu, apa gunanya lem itu? Kenapa Ibu menyuruh kita berhemat?” Tanya Marjan Djabumir.
“Untuk merekatkan kamong semua pu kertas minyak itu ke karton.” Jawabku.
“Aih Ibu! Kalau begitu, katong samua juga punya lem! Tunggu sebentar, Ibu!” Kata Aksai Rahanjaan menambahkan.
Tiga anak laki-laki pergi ke arah hutan. Beberapa menit kemudian, mereka membawa masuk pelepah batang sagu ke dalam kelas. Kata mereka, “Ibu… Ibu… ini lem kita!” Mereka menunjuk pada getah pelepah sagu. Saya bahagia dan haru.
Beberapa jam kemudian, hasil kreasi tas kardus anak-anak sudah didisplay di depan kelas. Mereka terlihat senang dan bangga saling memamerkan hasil kreasinya. Saya meminta mereka mengemasi buku dan alat tulis untuk disimpan di tas. Juga, meminta mereka mengenakan tas tersebut setiap kali ke sekolah. Dalam hati saya pesimis mereka akan mau mengenakannya. Saya teringat anak-anak di Jawa, mereka kebanyakan merasa malu mengenakan tas demikian untuk berangkat ke sekolah.
Semuanya di luar perkiraan saya. Anak-anak antusias mengenakan tas kardus ke sekolah. Setiap apel pagi, saya melihat mereka mengenakannya di punggung. Dalam hati saya ikut bangga pada mereka. Dan yang paling penting, mulai saat itu kendala kehilangan buku bisa diatasi.
Bangkitkan Minat Belajar melalui Kegiatan Pembelajaran Luar Kelas
Meningkatkan motivasi sekolah dan belajar anak-anak tidak bisa hanya dilakukan ketika di dalam kelas saja. Mereka tidak begitu paham kata-kata mutiara yang sering guru-guru sampaikan untuk membangkitkan motivasinya. Lebih dari itu, harus ada aksi nyata yang mampu membangkitkan minat mereka. Saya dan beberapa rekan guru lainnya memilih untuk mengajari mereka Pramuka. Ini merupakan hal baru bagi mereka. Selain kegiatan Pramuka, baris-bebaris dan games, juga latihan upacara adalah kegiatan lain yang bisa mereka ikuti di luar jam belajar.
Adakah SMP Samang di hatimu?
Ada
Mana?
Ini dia, ini dia
Ayo maju SMP Samang, Ayo maju SMP Samang!
SMP Samang, tunjukkan aksimu
Jiwa korsa semangat di dada
Disiplin dan slalu ceria
SMP Samang tetap jaya selamanya!
Huh u hu hu ha!
Yel itu yang selanjutnya sering kami dengar di sekolah ketika kegiatan pembelajaran luas kelas tengah berlangsung. Para siswa sangat antusias mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kelas. Bahkan, ada seorang siswa yang hanya berangkat sekolah ketika kegiatan Pramuka saja. Beberapa anak badung tukang bolos juga rela berada di sekolah hingga sore hari demi mengikuti games dan latihan baris-berbaris.
Setelah kegiatan-kegiatan tersebut diajarkan, para siswa akhirnya bisa melaksanakan upacara bendera. Upacara bendera di sekolah ini adalah peristiwa langka. Meski tahun lalu kepala sekolah bersama wali siswa kelas IX telah mendirikan sebuah tiang bendera, tapi kegiatan upacara selalu absen dilaksanakan, Hal ini lantaran belum ada siswa yang bisa bertugas dan tidak ada guru yang bersedia menjadi Pembina upacara.
“Siap grak!”
Suara pemimpin upacara menyentakkan saya dari lamunan akan nasionalisme yang begitu tipis di tanah yang saya injak saat ini. Kami tentu saja bukan tidak mencintai Indonesia, tapi keterbatasan yang membelenggu kami untuk menunjukkan kecintaan tersebut.
Sementara itu, untuk pelajaran Bahasa Indonesia, anak-anak sering juga keluar kelas untuk observasi atau mencari inspirasi. Mereka pergi ke tepi pantai, ke kebun sekolah, ke tepian hutan, dan lain-lain. Semua itu demi merangsang kekuatan berpikir dan daya imajinasi. Banyak karya yang berhasil tercipta dari tangan-tangan mereka, diantaranya: puisi, naskah drama, teks observasi, dan surat untuk Mama. Proses belajar dirangsang dengan segala potensi yang alam mereka miliki. Tidak harus dari kecanggihan teknologi. Karena, toh kecanggihan itu belum masuk ke kampung kami.
Merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi
Upacara Bendera setiap hari Senin saja nyaris tidak pernah dilaksanakan, apalagi perayaan hari bersejarah yang lain. Kebanyakan siswa bahkan tidak mengetahui hari apa yang dirayakan setiap tanggal 21 April dan 22 April. Akhirnya, kami para guru menggagas perayaan Hari Kartini dan Hari Bumi. Gagasan tersebut mendapat respon positif dari pihak sekolah dan orang tua murid.
Pada Perayaan Hari Kartini, seluruh siswa dan guru memakai pakaian adat dari berbagai daerah. Kegiatan dimulai dengan upacara bendera. Petugas upacara adalah siswa putri. Setelah selesai upacara, dilaksanakan pawai mengelilingi kampung mengenakan pakaian adat sembari menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini. Bagi anak-anak, ini adalah pengalaman pertama mereka merayakan Hari Kartini. Mereka terlihat begitu antusias dan bangga mengenakan berbagai pakaian adat, utamanya pakaian adat Maluku. Melihat kebahagiaan mereka adalah sumber semangat bagi saya.
Sementara itu, perayaan Hari Bumi diperingati dengan penanaman berbagai jenis pohon di area sekolah. Sebelum ditanam, para siswa dan guru memberikan tulisan motivasi untuk merawat alam pada pohon yang akan ditanam. Karena begitu semangatnya, mereka rela berpanas-panas bahkan sampai mencari bambu di hutan untuk sekedar memberi pelindung bagi tanamannya agar tidak dirusak anak-anak SD yang sering bermain di sana setiap sore. Meski hanya hal kecil, setidaknya mereka jadi tahu bahwa manusia hidup berdampingan dengan alam dan makhluk lainnya. Mereka harus saling menjaga demi alam Indonesia yang asri.
Pelatihan Komputer
Suatu kali di kelas VII, saya memperkenalkan perangkat notebook kepada siswa. Beberapa siswa terlihat antusias untuk mengenal perangkat tersebut. Akan tetapi, seorang siswa mendadak pucat, tangannya dingin, dan diam mematung di kursinya.
Ketika ditanya, siswa tersebut menjawab, “Ibu, beta seng mau pegang Ibu pu laptop, beta takut!”. Begitu alasan yang dilontarkan Hasinda Aarty Mamang.
Atas dasar pengalaman tersebut, saya mengusulkan kepada teman-teman guru untuk membuka kursus komputer di kampung. Teman-teman menyetujui. Dengan bantuan seorang kenalan di Jogja, akhirnya kami bisa mendatangkan perangkat keyboard dan mouse, sedangkan komputer menggunakan notebook dan laptop yang dimiliki rekan-rekan guru. Setidaknya, hal ini menjadi sedikit cara untuk mengatasi ketakutan anak-anak pelosok terhadap perkembangan IPTEK.
Melaksanakan Masa Orientasi Siswa (MOS)
Kegiatan ini merupakan pelaksanaan MOS perdana di SMP Negeri 3 Samang. Tidak tanggung-tanggung, seluruh siswa dari kelas VII, VIII, dan IX menjadi peserta MOS agar semua merasakan pengalaman melaksanakan kegiatan MOS. Kegiatan ini disesuaikan dengan standar pelaksanaan MOS sekolah-sekolah di kota kabupaten berdasarkan buku panduan MOS. Kegiatan pengenalan lingkungan sekolah, pengenalan kegiatan luar kelas, baris-berbaris, penugasan, permainan, dan makan bersama menjadi agenda harian MOS.
Hal yang mengesankan selama kegiatan MOS dilaksanakan adalah penggunaan atribut topi wisuda. Atribut ini dibuat dari bahan seadanya dengan memanfaatkan kalender dan kertas-kertas bekas. Akan tetapi, beberapa orang tua siswa yang antusias rela pergi ke kota kabupaten demi membelikan kertas manila dan bahan lain untuk anaknya. Seluruh masyarakat se-kampung menunjukkan antusiasme yang begitu besar terhadap pelaksanaan MOS.
Salah satu penugasan MOS berupa teka-teki untuk menyuruh siswa membawa: tepung terigu, sayuran, minyak tanah, dan minyak goreng seharga Rp 1.000, 00. Sebagian besar siswa kebingungan memecahkan teka-teki tersebut. Alhasil, mereka membawa tepung terigu (sejumput), sayuran (daun sawi satu tangkai), minyak tanah (barangkali satu sendok makan), dan minyak goreng (juga satu sendok makan) dan diletakkan dalam sebuah plastik, bukannya membawa bakwan. Pecahlah tawa seluruh siswa dan guru ketika kami mengumumkan jawaban dari teka-teki tersebut. Bahkan, beberapa wali siswa ikut menyaksikan keluguan pemikiran anak-anak mereka. Barangkali, mama-mama yang menyuruh mereka membawa bahan-bahan itu sejumput demi sejumput.
Koran yang Fantastis
Pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas, saya desain tidak melulu mencatat materi. Banyak tugas praktik yang menuntut siswa belajar lebih aktif. Banyak tugas praktik yang menuntut siswa belajar lebih aktif. Misalnya, ketika mempelajari teks prosedur kompleks saya ajak anak-anak untuk membuat tas dari kardus bekas (yang kemudian mereka kenakan ke sekolah dengan bangganya). Ketika menulis puisi, saya ajak anak-anak ke tepian pantai. Ketika belajar teks laporan hasil observasi, saya meminta mereka mengamati kebun di belakang sekolah.
Ketika itu, saya usai pergi ke kota kabupaten mengambil paket barang dari Jawa. Barang yang saya pesan salah satunya adalah koran. Koran tersebut akan saya gunakan untuk mengajari siswa mencari ide pokok dalam sebuah paragraf.
Ketika menunjukkan beberapa koran di depan kelas, para siswa terlihat takjub.
“Ibu, beta su pernah lihat barang ini di Tete Haji pu rumah di TV!”
“Iya kah? Ko su tahu ini barang pu nama apa?”
Anak-anak hanya bengong, dan menganga ke saya. Saya pikir mereka sedang bercanda. Atau, barangkali mereka sedang berakting layaknya dalam permainan drama yang pernah saya ajarkan sebelumnya. Kenyataannya, mereka memang belum tahu benda itu adalah koran. Fantastis!
Saya mulai membagi mereka ke dalam beberapa kelompok. lalu, membagikan koran untuk masing-masing kelompok. saya meminta anak-anak memahami instruksi yang saya berikan untuk memulai belajar mengenal dan mencari ide pokok sebuah paragraf. Awalnya mereka memperhatikan langkah yang saya berikan, lama-kelamaan mereka tergoda membolak-balik lembaran koran sembari berdecak kagum. Saya biarkan mereka menikmati pengalaman tersebut.
“Woa! Lihat! Lihat! Rumah pu besar saja e!”
“Ibu, di Jawa su ada mobil gagah ini?” Seorang siswa menunjuk gambar mobil di koran.
“Wa, beta mau pi Jawa par naik!”
“Ibu, ini kereta kah?”
“Gagahnya! Ibu su pernah naik kereta kah?” Satu per satu siswa mulai berceloteh.
“Waa! Mayi tua ini pu gagah saja e!”
Saya menghela napas. Bukan karena jam pelajaran saya tersita untuk mengagumi gambar-gambar di dalam koran, tapi karena saya trenyuh siswa-siswa ini begitu terpesonanya dengan sebuah koran. Sementara, di pulau lain, koran yang semestinya dicetak untuk dibaca isinya, justru dibuat untuk alas atau pembungkus.
Tragedi Doubletip
Hari itu saya membawa sebuah doubletip, lem, isolasi, dan beberapa lembar kertas hvs ke sekolah. Rencananya, jam Seni Budaya akan saya isi dengan menggambar. Hari-hari sebelumnya saya isi dengan pertukaran budaya Maluku dengan Jawa. Anak-anak mulai mahir menyanyikan lagu Gundul-gundul Pacul, Suwe Ora Jamu, dan bermain Cublak-cublak Suweng. Sementara saya, mulai bisa menyanyi lagu dengan bahasa Tual dan ikut menari adat bersama anak-anak di kelas. Selain itu, grup nasyid juga sudah terbentuk dari kelas VII hingga IX. Terkadang saya merasa begitu terhibur dengan suara-suara sumbang mereka tatkala menyanyi dengan bahasa Jawa. Apalagi, saat grup nasyid mereka menyanyikan lagu Neo Salawat yang terdiri dari beberapa bahasa daerah dan bahasa asing. Tidak hanya sumbang, tapi logat Maluku mereka sangat kentara.
Hari ini kegiatannya menggambar dan membuat kata-kata motivasi. Hasil karya siswa nantinya akan saya pajang di dinding kelas. Para siswa sebelumnya telah saya perintahkan untuk membawa alat-alat mewarnai yang mereka punya. Dan, pengalaman berimajinasi akan segera dimulai!
Suasana kelas mulai ramai. Para siswa mendiskusikan gambar apa yang akan mereka goreskan di lembar kertas masing-masing. Tiba-tiba seorang anak perempuan berteriak.
“Ibuuuu! Aksai ada ganggu beta terus! Dia lihat beta pu gambar, mangkali dia mau mencontek beta!”
“Seng ada Ibu! Beta seng ganggu Hania! Beta lihat-lihat sa!”
”Tar ada! Tar ada Ibu! Aksai gangguuuu betaaaaaa!”
Dua anak ini, Hania dan Aksai memang kerap bertengkar. Hania yang selalu fokus memperhatikan dan melaksanakan perintah guru membuat Aksai selalu ingin mengecoh konsentrasinya. Sehingga, tidak jarang mereka berdua beradu mulut. Demi melerai pertengkaran itu, saya balas menghardik.
“Aksai! Kalau ko tak bisa diam, nanti Ibu tempel ko pu mulut deng doubletip!” Ekspresi saya buat seseram mungkin. Eh, bukannya takut, Aksai justru takjum dengan benda bernama doubletip tersebut. Saya lihat matanya memancarkan rasa penasaran. Dia buru-buru membuat ulah. Dia merebut lembar kerja Hania, sehingga pecahlah tangis gadis kecil itu. Saya jengkel, saya sobel doubletip dan menempelkannya di mulut Aksai. Sontak anak-anak seluruh kelas tertawa.
“Ibu, beta mau juga ditempel!”
“Iya, beta juga!”
“Ibu, beta lai!”
“Beta!”
“Beta!”
“Beta!”
Bukannya menganggap itu sebagai hukuman, malahan mereka berebut minta ditempeli juga mulutnya dengan doubletip. Akhirnya, hari itu kelas saya terasa begitu lengang, tenang. Tidak seperti biasanya.
Karena mimpi dan cinta adalah mukjizat
Mengajar tentu saja bukan semata menyalurkan pemahaman materi dari guru ke siswa. Lebih dari itu, mengajar adalah cara untuk menggali potensi siswa, menuntun mereka untuk mengenali kelebihannya, dan membangkitkan motivasi mereka agar selalu mau dan mau belajar. Meski keterbatasan di sana-sini, guru tidak lantas menyerah. Seringnya sekarang guru beradu media secanggih-canggihnya dalam mengajar. Terlalu takut dibilang kuper dan nggak jaman. Tentu saja itu guru-guru di kota besar. Bagi guru-guru di pedalaman, bisa membuat anak-anak mau datang setiap hari ke sekolah sudah menjadi sebuah prestasi besar.
Beribu jalan menuju Roma, beribu jalan menuju kebangkitan pendidikan bangsa dengan beribu cara kreatif guru dalam mendidik putra-putri Indonesia.