Mesin Waktu Ukalahin


Pernahkah anda berfikir, bahwa mesin waktu itu benar adanya? Tak perlu kita menonton film sains fiksi dari Hollywood atau menjadi ilmuwan yang menguasai fisika. Namun mesin waktu ini bisa membawa aku ke masa laluku, dan bahkan membawaku kembali ke masa depan. Hanya butuh waktu tiga jam untuk teleportasi dengan sedikit guncangan, simsalabin anda berada di kehidupan masa lain.

Ikut Program GGD adalah caraku melintasi waktu, Ukalahin mampu membawaku ke masa kecilku atau ke masa depan. Oto (Mobil) Pak Daeng dan Parman adalah medianya, DAS Waegeren adalah dinding berteknologi nano yang mampu membuatku berteleportasi melintasi beberapa masa.

Di Namlea, aku melihat anak kecil bermain smartphone. Sedang di Ukalahin, anak seumurannya masih bermain mobil-mobilan dari bekas kaleng susu oleh-oleh omnya dari kota

Di Namlea, pelajar datang ke sekolah dengan skuter matic. Sedang siswaku di Ukalahin, harus berjalan puluhan kilo dari Waereman dengan tas di punggung, dan bekal seminggu di pundak.

Di Namlea, pelajar bosan dengan teknologi komputer. Sedang siswaku di Ukalahin, beberapa dari mereka belum pernah menyentuhnya.

Di Namlea, beberapa orang tua melingkar dengan permainan Ludo dari smartphone. Sedang di Ukalahin, Jika ada orang tua melingkar bisa dipastikan yang di tengah adalah pinang, kapur, dan siri.

Di Namlea, desas-desus politik adalah perbincangan yang selalu hangat di telinga. Sedang di Ukalahin, bagaimana agar dapur besok tetap mengepul adalah tema yang selalu hangat di sore hari.

Ukalahin membawaku ke masa kecilku, saat aku masih duduk di bangku SD. Anak kecil mandi di sungai Waegeren sampai mata memerah, kadang main balapan mobil kaleng sambil hujan-hujanan, atau berburu burung memakai ketapel hingga matahari hilang di sebelah barat Lembah Ukalahin dan mama-mamanya datang dengan irisan bambu sisa pagaran rumah.

Di pagi Ukalahin, aku menemukan kesibukan bapak-bapak meningggalkan kampung sambil membawa Cis (Senapan Angin) dan tombak. Karena di setiap pagi adalah harapan, harapan bahwa dapur hari ini akan mengepul. Begitupun sapaan ina-ina (ibu-ibu) di sungai yang khas sambil mencuci piring dan pakaian berkebun kemarin. Dan sapaan masyarakat sepanjang jalan menuju sekolah, “Selamat pagi Bapak Guru Jawa” kata mereka walaupun mereka tahu saya asalnya dari Sulawesi.

Di malam Ukalahin, melingkar bersama bapak piara dan beberapa warga, menikmati kopi tumbuk khas olahan Mama Piara, sambil bercerita MOP yang sesekali tawa memecah kesunyian malam, mengalahkan sibuknya jangkrik di luar rumah. Terkadang pembicaraan serius tentang masa depan yaitu harapan menonton debat politik calon gubernur, atau menonton berita banjir di Jakarta, bahkan sekedar telenovela untuk ina-ina. Harapan tentang sinyal telepon untuk SMS hingga bisa update status di facebook. Harapan tentang jalan yang mulus agar pengepul tak membeli murah hasil alam kami, atau pedagang tak menjual mahal sabun coleknya. Terlihat Bapak Soa sibuk memelintir tembakau di kulit jagung kering sambil mengunyah sirih pinang. Lalu membakarnya, Mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan hingga seisi ruangan gelap oleh asap tembakaunya, “ohho ohho ohho; harga surya sudah Rp 35.000 di sini,” katanya sambil memegang dada menahan batuk.

Ukalahin seakan membawaku ke tahun 1965 saat tapol-tapol (red. tahanan politik) di pekerjakan paksa di pulau ini. Atau mungkin mundur beberapa tahun lagi saat kemerdekaan negara ini masih seumur jagung. Tak banyak teknologi di sini selain mesin parut kasbi (red. Ubi) beberapa warga dan lampu solar sel bantuan Kementerian ESDM yang mulai redup di atas lingkaran diskusi kami. Sisanya adalah keterbatasan.

Tiba-tiba lampu solar sell yang di atasku terang lalu membuat seisi ruangan menjadi putih bersih  menyilaukan hingga di luar rumah. Semua penduduk tiba-tiba ramai. Suara terdengar gaduh dari berbagai arah tanpa aku tahu artinya. Aku mencoba keluar melihat apa yang terjadi di depan rumah yang membuat warga gaduh. Waw….! Jalanan di depan rumah sudah hotmik, bahkan lengkap dengan garis putih marga jalannya. Kiri kanan bendera umbul-umbul menghiasi, sejauh mata memandang ke utara dan selatan jalan masyarakat tumpah, anak-anak sekolah dijejer sambil mengibas-ngibaskan bendera merah putih kecil sepanjang jalan. Kepala-kepala Soa berpakaian adat lengkap dengan blangkonnya, Gemuru gendang dan teriakan pemuda kampung ikut meramaikan. “Pak Desa, Ada Apa?” tanyaku penasaran, “Bapak Presiden datang meresmikan wisata puncak terbesar di Indonesia Timur di Danau Rana,” jawab Pak desa kemudian berlalu dari depanku karena terlihat mengurus sesuatu. Aku masih belum percaya, kulihat beberapa siswaku memakai safari, seragam polisi, kemeja rapi sambil tersenyum padaku tanpa mengeluarkan sepenggal katapun. “Reno, ko ambil baju polisi itu dari mana?” tanyaku kepada salah satu siswa andalanku di kelas VII. Reno menyalamiku, “ini seragam aku dapat sepuluh tahun lalu di SPM Batua Makassar Pak,” jawabnya sambil memegang erat tanganku. Aku mulai heran. Tapi kejadian itu berlangsung sangat cepat dan teratur di depanku.

Kemudian “Oe Pak Guru!!!” Terdengar suara yang entah dari mana asalnya. “Pak Guru” sekali lagi suara itu terdengar tapi entah dari mana asalnya. Aku mulai mencari-cari sumber suara itu. Tiba tiba Prakkk, “Oe.. Mau tidur di sini kah,” ucap pak Hendrik yang sudah lengkap dengan sarung di depanku. “Ehh Pak Desa, Pak Soa?” jawabku. “Antua sudah pulang, seng enak mengganggu Pak Guru katanya su lelap,”. Aku baru sadar ternyata aku ketiduran saat asyik-asyiknya cerita dengan beberapa warga. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku beranjak dari kursi sofa milik Pak desa yang katanya dulu dia beli tujuh juta rupiah dan biayanya sampai ke Ukalahin tiga juta rupiah. Lalu bergegas keluar untuk pindah ke kamarku, Rumah guru yang tepat di samping rumah Pak Desa. Suara jangkrik pun sudah mulai sunyi, hanya bintang gemerlap di atas langit dan sepotong bulang yang bertengker di atas bukit Timur Ukalahin. Yah. Ukalahin masih tertinggal, gelap, sunyi, dan dingin seakan menusuk tulang. Tak ada suara-suara manusia lagi, hanya suara burung sesekali terdengar dari hutan di belakang kampung.

Selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga GGD menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk memajukan pendidikan di daerah 3T

(Dikunjungi : 243 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
2
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
3
Sangat Suka

Komentar Anda

Share