Pijak Jejak di Nusa Utara


Kabupaten SITARO berada di Provinsi Sulawesi Utara yang terletak di sebelah utara kota Manado dengan jarak tempuh 4-6 jam menggunakan kapal cepat (fiber). Sitaro sendiri terdiri dari 3 pulau besar yaitu Siau Tagulandang dan Biaro dan dari tersebutlah tercetus nama Sitaro, menurut warga setempat. Siau menjadi pusat pemerintahan dan menjadikan ibukota di kabupaten ini. Kabupaten yang terdiri dari 10 Kecamatan, 4 Kelurahan dan 80 Kampung (Desa) dengan 1 gunung berapi yaitu Gunung Karangetang, Salah satunya adalah Kampung (Desa) Pahepa yang pimpin oleh Kapitalau (Kepala Desa).

Akhir Agustus 2014, Saya beserta rombongan SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan tertinggal) LPTK Makassar berjumlah 27 orang yang telah mengikuti serangkaian Prakondisi di kampus UNM dan di Paskhas Hasanuddin dan sangat cukup memberikan kami mental untuk menuju ke daerah 3T, tiba di kabupaten ini kami disambut oleh gagahnya Gunung Karangetang dengan asap yang mengepul di puncaknya. Kami dijemput oleh peserta SM-3T LPTK Malang angkatan 3 di pelabuhan Siau dan membawa kami ke SMK Sitim (Siau Timur) dengan rangkaian acara pisah sambut SM-3T Sitaro sekaligus Prakondisi atau pengenalan tentang daerah ini dan pembagian sekolah tempat pengabdian selama satu tahun dari pihak Dinas Pendidikan setempat (DIKPORA). Di akhir acara prakondisi tibalah suasana yang menegangkan, nama kami disebut beserta nama sekolah penempatan.

Jatah penugasan SM-3T kala itu untuk Kabupaten Sitaro bukan hanya peserta SM-3T dari Makassar tapi ada juga dari SM-3T LPTK Malang yang berjumlah 35 orang.

Saya bersama Agus Kurniawan ditempatkan di SD GMIST Petra Maniuba, begitu pula dengan teman-teman yang lain mendapat sekolah penempatan barunya. Sore itu kami dijemput oleh Kepala Sekolah yaitu Ibu Lemboh dan langsung menuju ke lokasi (Maniuba) yang terdapat di Pulau Pahepa dengan menggunakan perahu kecil (Katinting) yang bermuatan 5-6 orang saja, dari kota Ulu menuju pulau Pahepa menyita waktu 40-60 menit bergantung kencangnya angin dan besarnya ombak. Saya sengaja  duduk di depan agar bisa menikmati pemandangan yang disuguhkan-Nya, sedangkan Agus dan Ibu Lemboh berada di belakang sambil menutup koper dan tas kami agar tidak basah dan sang nahkoda sibuk mengarahkan perahunya agar terhindar dari kayu gelondongan yang sering ikut hanyut di laut.

Air yang bermahkotakan batu karang beserta ikan-ikan kecil yang menari-nari di sekitarnya dan gugusan pulau-pulau kecil seakan mengiringi perjalanan pertamaku menuju Maniuba, petang seakan ikut menyambut kedatangan kami

Setelah makan malam dan merapikan barang kami, saya sedikit berkenalan dengan Saudara Agus sampai akhirnya matras yang ada di sudut perpustakaan dijadikan alas untuk tidur malam ini, sedangkan Ibu Lemboh tidur di rumah samping sekolah, rumah tersebut juga dibuat oleh warga Maniuba dengan harapan Kepala Sekolah betah tinggal di Maniuba dan rajin masuk sekolah

Oia perkenalkan saudara saya yang satu ini, namanya Agus Kurniawan, jurusan Bahasa Indonesia UM (Universitas Negeri Malang) dia lebih tinggi dan lebih tua dari saya, memakai kacamata selider dengan ciri khas rambutnya yang mulai menipis.

Minggu pagi saya dibangunkan bunyi lonceng Gereja yang masih berada di lingkungan sekolah dan langsung bergegas mandi dan berpakaian rapi dengan PDH SM-3T kebanggan kami yang dibagikan beberapa waktu prakondisi lalu, kami memang sudah diberitahu sebelumnya bahwa akan ada perkenalan di gereja bersama warga Maniuba, terlihat beberapa warga bersiap-siap untuk beribadah dan kami pun didampingi oleh Ibu Lemboh menuju gereja sembari bersalaman dan saling senyum sapa sama beberapa orang di gereja tersebut.

Semua warga Maniuba memeluk agama Nasrani dan hanya kami yang beragama Islam, tapi dengan toleransi beragama yang tinggi dan profesi guru sangat dihormati di tempat ini membuat kami kagum dan ketakutan-ketakutan yang muncul di benak memudar menghilang, Maniuba sendiri yang berpenduduk dengan mata pencaharian sehari-harinya adalah nelayan dan hasil tangkapan dijual di pasar Ulu (Siau) di hari Selasa, Kamis dan Sabtu.

Perlahan kuberjalan memasuki gereja dengan keraguan dan sedikit canggung karena semua peserta jemaat memandang dan kursi yang disediakan untuk kami berada paling depan, saat ibadah berlansung saya hanya duduk dian memperhatikan pendeta yang memimpin ibadah tersebut, kadang pula berdiri ketika para jemaat berdiri. Setelah rangkaian ibadah selesai barulah kami diperkenalkan oleh Kepala Sekolah di hadapan para jemaat, Kepala Desa (Kapitalau) dan Kepala Dusun (Lindongan). Dan di sini pulalah kami dikenalkan dengan Ibu Darumba (salah satu guru PNS di SD Maniuba) dan memboyong kami ikut ke rumahnya karena peserta SM-3T sebelum kami pun tinggal di rumahnya. Setelah berunding hebat tokoh masyarakat tersebut, akhirnya kami diizinkan tinggal di rumah Ibu Darumba

Ibu Darumba mempunyai 2 orang anak yaitu Mikel dan Glory tapi kedua anaknya sudah tidak tinggal lagi bersamanya karena masing-masing duduk di bangku SMA dan SMP, Mikel sudah kelas 2 SMA sedangkan Glory masih duduk di bangku SMP keduanya tinggal di Sawang (pulau Siau) di rumah tantenya, mereka harus meninggalkan desanya karena di pulau pahepa hanya ada SD. Dan mempunyai suami yang bernama Selamat yang berprofesi sebagai nelayan dan juga lihai membuat perahu kecil (katinting), maupun perahu besar yang biasanya dipakai menangkap ikan. Rumah Ibu Darumba terletak di kampung Pahepa dengan jarak tempuh ± 30 menit dari sekolah dengan mendaki gunung dan melewati hutan dan jalannya sudah lumayan bagus berkat bantuan PNPM Mandiri membeton jalan yang menghubungkan kampung Pahepa dan Maniuba, dan juga dikarenakan tidak ada sinyal di Maniuba membuat kami diizinkan pindah ke rumah Ibu Darumba agar kami tetap ada koneksi dengan teman-teman SM-3T lainnya begitu pula dengan keluarga dan tak kalah penting kadang ada urusan mendadak dengan pihak Dinas Pendidikan setempat(DIKPORA)  jadi sewaktu-waktu bisa ke DIKPORA dengan cepat. Kampung Pahepa sendiri bermata pencaharian yang sama dengan warga Maniuba, letaknya yang berhadapan langsung dengan pulau Siau membuat warga Pahepa kecipratan sinyal dari sana karena pulau ini sendiri tidak ada tower jaringan. Sumber listriknya dari PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) yang digunakan selama 24 jam dan beberapa warga menggunakan generator listrik dan sumber airnya hanya mengandalkan 2 sumur yang sering kering di musim kemarau. Di sini pun hanya ada 1 motor milik Desa untuk mengangkut minyak bila mana ada warga membeli bahan bakar untuk katintingnya sekaligus menjadi transportasi patroli untuk memantau warganya.

Di SD GMIST Petra Maniuba yang dipimpin oleh Ibu Lemboh, mempunyai 2 orang guru honor yaitu Ibu Feibe dan Ibu Mangansing serta Ibu Darumba sebagai bendahara ditambah kami sebagai guru SM-3T. Ibu Mangansing yang mengajar di kelas 1 dan 2, Ibu Feibe di kelas 5, Ibu Darumba di kelas 4, dan saya di kelas 6 dan Agus di kelas 3 sekaligus menjadi operator sekolah. Sekolah ini sendiri hanya memiliki 9 siswa dengan siswa kelas 6 yang hanya 1 orang yaitu Julian. Dan beberapa bulan saya berada di sana sekolah tersebut berganti kepala sekolah Ibu Lemboh digantikan oleh Ibu Kakunsi dengan alasan ibu lemboh ingin pindah mengajar di dekat rumahnya agar sekaligus bisa mengurus keluarga.

Tiap harinya saya hanya fokus mengajar pada siswa semata wayang di kelasnya dan kadang pula merangkap ke kelas lain apabila guru kelasnya tidak hadir, untuk kelas 1, 2 dan 3 sudah menggunakan Kurikulum 2013 sedangkan kelas 4,5 dan 6 masih menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kurangnya referensi buku-buku pelajaran merupakan kendala di sekolah yang saya siasati dengan men-download materi-materi dan contoh soal UN ketika ke kota Ulu (Siau) dan kurangnya minat baca dan belajar siswa.

Sekolah dengan ruang kelas ada 6 ditambah ruang guru dan perpustakaan merupakan nilai plus buat lembaga pendidikan tersebut, hampir semua siswa sudah pandai membaca dan berhitung serta etika siswa yang telah terlatih. Saya sering mewakili sekolah untuk rapat pembuatan soal-soal UTS atau pun UAS bergabung dengan Sekolah sekelompoknya yang ada di Sitimsel (Siau Timur Selatan) yang diketuai oleh pak Tatangin (Kepala Sekolah SD Inpres Buhias), pernah suatu hari pada saat rapat di SD Biau terjadi gempa yang membuat kami panik dan berhamburan keluar dari ruangan rapat. Negeri 47 pulau ini memang sering dimangsa oleh gempa, karena gunung berapi yang ada di pulau tersebut.

Dan tibalah saatnya siswa semata wayang di kelasnya mengikuti UN di SD Inpres Buhias dan saya pun ikut mendampingi sebagai guru kelasnya yang membuat kami harus tinggal di pulau Buhias untuk beberapa waktu hingga pelaksanaan UN selesai. Sesuai yang telah ditetapkan oleh Dikpora bahwa siswa-siswi yang ada di sekitaran pulau Pahepa dan pulau Buhias wajib mengikuti UN di SD Inpres Buhias karena hanya SD tersebut yang berstatus negeri dan di sana pulalah saya berkumpul kembali dengan teman SM-3T lainnya yang juga ikut mendampingi siswanya.

Sore itu dengan perlengkapan secukupnya menuju pulau Buhias dan tinggal di rumah salah satu sanak saudara Pak Selamat (suami ibu darumba). Hampir setiap malam saya mempersiapkan Julian untuk menghadapi ujiannya, baik dari segi pelajaran maupun perlengkapan-perlengkapan yang dipakai pada saat ujian. Selama di pulau Buhias, saya bersama teman SM-3T lainnya selalu mengisi waktu kekosongan dengan bermain sepak bola di sore hari dan menikmati keindahan pulau tersebut meski semuanya dilakukan dengan berjalan kaki, hingga akhirnya UN pun selesai dan kembali lagi ke pulau Pahepa sembari menunggu hasil UN Julian.

Pengumuman hasil UN pun diumumkan di Dikpora dan hasilnya Julian dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan dan mempersiapkan lagi berkas mendaftar di SMP Buhias. Hampir semua alumni di SD yang ada di sekitaran pulau pahepa dan buhias yang ingin melanjutkan ke jenjang selanjutnya mendaftar di SMP buhias karena cuma SMP ini yang terdekat meskipun tiap harinya harus menaklukkan ombak ketika ingin ke sekolah.

Kehidupan warga Pahepa yang tenteram, damai dan sunyi senyap ketika malam menyapa, aman karena saling menjaga serta sejahtera karena hasil laut yang berlimpah ruah. Mereka yang tiap harinya mandi di sumur, mengangkat air dan menangkap ikan bersama-sama (hettung) yang seakan memperkuat silaturahmi bersama warga Pahepa. Hampir tiap sore pun saya bersama pemuda dan anak-anak bermain sepak pola di pantai Kasilihang, meskipun harus berenang ketika air laut pasang, saya pun tergabung dalam Pemuda PHP FC (Pahepa Football Club) dan ikut dalam pertandingan sepak bola di Sawang (pulau Siau), karena lapangan hijau tempat bertanding berada di pulau seberang mengharuskan kami mengendarai katinting untuk menuju ke sana dan berangkatnya pun lebih awal karena jaraknya yang lumayan jauh. Biasanya kami menggunakan 2 katinting untuk semua pemain, sedangkan suporter hanya mendoakan kami di rumahnya masing-masing, selalu ada canda tawa di perjalanan ke lapangan hijau yang membuat perjalanan tidak terasa lama, dengan kekompakan yang matang dan latihan rutin di Kasilihang membuat pertandingan pertama kami menang dan mengalahkan beberapa tim di pertandingan-pertandingan berikutnya, tapi tim kami kandas di babak perempat final. Meskipun tim kami tidak mendapat juara, tapi kami selalu juara di hati para suporter yang ada di pulau Pahepa. Tak dipungkiri kami selalu pulang malam dengan bercahayakan bulan disandingkan bintang-bintang serta hamparan pulau sekelilinya seakan memandu perjalanan kami serta bisingnya mesin katinting yang mengiringinya. Tak juara, tak apa tapi saya selalu merasa juara ketika bisa menyatu bersama mereka.

Di pulau Pahepa sendiri tidak ada masjid karena memang warganya mayoritas Nasrani dan mengharuskan saya sholat Jumat di kota Ulu (pulau Siau), warga Pahepa pun hanya ke kota ketika hari pasar (Selasa, Kamis, dan Sabtu) untuk menjual hasil tangkapan lautnya. Jadi ketika saya ingin sholat Jumat biasanya ikut bersama warga ke pasar di hari Kamis dan pulang dari kota di hari Sabtu, masjid di Ibu Kota Sitaro pun cuma ada 1 berada di kota Ulu dan 1 Musholla di sekitaran kantor bupati (Ondong).

Ibu Darumba dan suaminya (Pak Selamat) yang selalu membimbing, mengasuh kami (saya dan Agus) selama tinggal di rumahnya seakan menganggap kami anaknya sendiri. Hampir tiap malam sehabis makan mereka selalu bercerita tentang suka dan duka peserta SM-3T sebelum kami beserta kegiatan-kegiatannya serta tradisi-tradisi yang berlaku di suku Sangihe. Angin malam berbalut sepi di iringi suara hempasan ombak di tepian seakan menemani kami setiap malamnya di dego-dego (tempat duduk yang terbuat dari bambu).

Kesibukan Pak Selamat sendiri hanya nelayan dan membuat perahu, sampai suatu ketika dia membangun sebuah perahu dan saya pun selalu ikut dalam pembuatannya mulai dari menebang pohon untuk bahan dasar perahunya, membuat perahu sampai ke teknik finishing. Proses pembuatan perahu besar untuk menangkap ikan memakan waktu sekitar 3 bulan, dan saya pun dipercayakan untuk mendesain motif dan warna untuk perahu barunya tersebut, perahu yang di namai “MEGSELDAR” itu mulai pengecatan di bulan puasa sekaligus diibadahkan untuk pelayaran pertama di bulan tersebut dan kesempatan ini saya manfaatkan sebaik-baiknya. Nama “Megseldar” sendiri diambil dari nama kedua anaknya dan nama mereka yaitu Maikel Glory Selamat Darumba. Banyak hal yang saya pelajari ketika ikut bersama Pak Selamat yang tekun ini. Saya pun sering ikut melaut bersama pak Selamat meskipun dilarang oleh ibu Darumba, kami selalu membawa ikan tangkapan yang cukup untuk dimakan beberapa hari dan paling enak menurut saya ketika dibakar dan disajikan bersama dabu-dabu mantah (irisan tomat dan bawang).

Kegiatan kemasyarakatan pun tak luput kami hadiri mulai dari baptis, ulang tahun, pernikahan dan pemakaman (duka). Tradisi warga yang mengharuskan memakai baju hitam bagi keluarga yang berduka selama setahun dan disarankan pula memakai baju hitam ketika melayat di rumah duka yang artinya kami ikut berduka dan merasakan kehilangan sanak saudara kami. Makanan yang dihidangkan buat tamu pun selalu ada babi dan ikan yang dibuat dalam berbagai sajian, tapi bagi kami yang beragama islam mendapat perlakuan khusus. Ikan bakar pun selalu menjadi solusi ketika menghadiri acara kemasyarakatan tersebut. Tradisi adat “Tulude” yaitu hajatan tahunan pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) yang dimeriahkan oleh tarian-tarian Sulawesi Utara dengan mengenakan pakaian adat setempat. Hampir semua teman-teman SM-3T yang ada di pulau Siau ikut dalam acara ini yang dilaksanakan di lapangan Akesimbeka, jajanan makanan pun tersedia buat para tamu, tenda-tenda makan berjejeran hingga ke sudut lapangan dan para tamu bebas mengambil makanan dan itu semua gratis dan tersedia pula masakan Nusantara bagi kami yang beragama Muslim. Acara yang menurut saya luar biasa itu mendatangkan Gubernur Sulawesi Utara dan para pejabat setempat serta diakhiri dengan kembang api yang menambah nuansa warna di langit kota Ulu.

Keindahan alam di bumi Karangetang ini cukup mempesona, mulai dari pulau Mahoro dengan hamparan pasir putih yang luas dan gugusan pulau-pulau kecil di depannya seakan memanjakan mata, saya dan teman-teman SM-3T  serta teman-teman pemuda kota Ulu sering liburan di sini dan menghabiskan malam bersama mereka. Pulau yang tidak berpenghuni ini memang mempunyai daya Tarik tersendiri. Dan pulau Makalehi dengan danau cintanya (heartlake) seakan membuat romantis dan melankolis bagi para pengunjungnya, ditambah kawah Karangetang yang tak henti-hentinya bercucuran dari puncaknya.

Sampai tiba saatnya, hampir setahun berlalu dan kami akan penarikan dari tempat pengabdian, semua terasa berat meninggalkan semua ini, tapi di dalam hati paling dalam pun saya rindu dengan keluarga yang sebulan sekali saya menelepon untuk melepas kerinduan. Di sekolah pun membuat acara perpisahan untuk kami (saya dan Agus) yang dihadiri para orang tua siswa dan beberapa warga, para orang tua siswa, dan guru pun membawa makanan lalu disajikan di lorong-lorong kelas, dan sepanjang ibadah perpisahan ini yang dipimpin oleh Ibu Pendeta Gereja Gmist Petra Maniuba berlansung, tak sedikit orang tua siswa meneteskan air mata, terutama ibu Darumba dan pak Selamat sebagai orang tua kami selama di pulau ini, jelas semua ini membuat saya terharu, dalam acara ini pun saya mempersembahkan karya tangan saya sebagai tanda terima kasih kepada SD GMIST Perta Maniuba dan keluarga Selamat-Darumba.

“Teruslah belajar Nak sampai engkau meraih cita-citamu”

“Pemerataan pendidikan sebaiknya dilaksanakan secepatnya agar siswa di pelosok Negeri pun mendapatkan pendidikan yang layak dalam menciptakan generasi emas Indonesia.

“ Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia”

Dimana bumi dipijak

Di sana kita meninggalkan jejak

(Dikunjungi : 163 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
2
Sangat Suka

Komentar Anda

Share