Membaca Jalanan


Hari raya Idul Fitri telah berlalu, namun masih kuingat kenanganku saat menjelang hari kemenangan tersebut di mana toko, pasar dan tempat-tempat lainnya sudah tak kesepian lagi. Hanya Masjid (mungkin) yang sudah mulai berkurang pengunjungnya. Sebab para penghuninya berubah haluan (sementara) guna mencari dan memenuhi kebutuhan untuk hari raya.

Siang tersebut, untuk pertama kalinya aku mengendarai kendaraan di kota Medan. Setiap sisi jalan amat ramai, hingga membuatku ‘grogi’ saat berkendara. Bukan grogi karena ditatapi ataupun dipandangi orang-orang. Sebab kupikir, terlalu sia-sia jika mereka hanya memandangiku yang bukan siapa-siapa, sementara mereka harus terus berpacu dengan waktu.

Berhenti di salah satu tempat perbelanjaan yang besar. Tentu saja aku bukan ingin berbelanja, melainkan menunggu saudara yang sedang membeli keperluan untuk hari raya besok.  Termenung di tempat parkiran, sambil menatapi satu per satu orang-orang yang lewat. Tapi aku tidak sempat menghitung berapa orang yang melintasiku. Karena habis rasanya waktuku jika hanya menghitung mereka yang lalu lalang.

Ada pemandangan menarik (menurutku) yang menjadi inspirasi sekaligus motivasi siang kala itu. Pada menit, saat jam menunjukkan pukul 10.05 wib, demikian saat aku menanyakan seorang bapak di tempat parkiran. Pandanganku tertuju pada sosok wanita paruh baya dengan 3 orang bocah. Kudengar wanita itu mendekat pada ketiga bocah tersebut. Dugaanku dari awal hingga akhir pasca melihat mereka, aku memastikan bahwa ketiga bocah itu bukanlah anak wanita itu. Aku tidak tahu persis apa yang diucapkan wanita tersebut terhadap ketiga bocah itu. Namun dari air mukanya, aku dapat membaca bahwa wanita sedang kesal. Hanya  sepatah kata yang kudengar jelas terlontar  dari lisan salah satu bocah tersebut . “Itukan uangku,” ujarnya.

Wanita itu masih terus merapat hingga ketiga bocah itu berbalik arah. Namun dalam kondisi yang demikian, tangannya tak berhenti merapikan uang lima puluh ribuan yang berada di dalam mangkok plastik kecil. Ah! Jika bukan karena keramaian yang teramat sangat, aku ingin bertanya banyak dengan bocah-bocah itu. Sayangnya, saat mereka berbalik arah, mereka luput dari pandanganku.

Kesimpulanku, sepertinya wanita itu memperkerjakan bocah-bocah itu. Lalu uang hasilnya dikumpulkan. Tentang seberapa banyak hasil yang diberikan untuk bocah-bocah itu, aku tak tahu pasti. Namun aku berharap, semoga kesimpulan ini keliru. Hingga aku berlalu dari tempat tersebut, wanita paruh baya itu masih duduk di tepi jalan. Namun uang yang tampak olehku dalam mangkok plastik itu tinggal uang dua ribuan dan recehan. Sesekali tampak olehku wanita itu merapikan lembaran uang dua ribuan tersebut. Sesekali pula ia menengadahkan mangkok tersebut saat orang-orang lewat.

Beragam hikmah yang dapat kuambil dari ‘bacaan’ siang tersebut. Tentang bagaimana mensyukuri segala sesuatu yang Allah berikan tanpa harus meminta-minta di jalanan. Allah akan memberikan apa yang kita inginkan, namun tidak serta merta tanpa ikhtiar. Allah akan membantu kita dalam mengubah hidup untuk lebih baik dari sebelumnya, namun bukan berarti seketika berubah tanpa mau bersusah payah. Orang yang ingin berubah itu memiliki peran penting dalam mencapai perubahannya, dengan melibatkan Allah di dalamnya, demikian yang kupahami. Bukan berdoa setiap detik, menit, jam, pekan, bulan, dan tahun tanpa ikhtiar. Sebab takdir juga tak ingin selalu disalahkan tanpa ikhtiar. Sebab keinginan untuk berubah tanpa ikhtiar, itu namanya pasrah. Semoga kita senantiasa dimudahkan untuk menuju kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Aamiiin Allahumma istajib.

(Dikunjungi : 44 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
0
Sangat Suka

Komentar Anda

Share