Kenapa Harus PPG? Curhatan Mahasiswa PPG Fisika UPI


Di antara tugas modul suhu dan kalor, dan tugas presentasi gelombang optik, tak sengaja saya melihat kalender di desktop, 3 Mei 2014. Malam minggu, masih depan Monitor, di ruang makan asrama, bersama 14 orang serdadu PPG Fisika lain yang masih memaksa mata untuk tetap melek demi menyelesaikan tugas

Ah.. mau bilang tidak terasa, tapi memang terasa, sudah 2 bulan lebih masuk asrama, jadi santri PPG UPI 2014. Santri PPG, Pondok Pesantren Guru, itulah selintingan kami untuk program PPG ini. Karena memang terasa seperti di pondok pesantren. Full 24 jam kehidupan kami di asrama dan kampus, senin-jum’at kuliah, sabtu-minggu kegiatan asrama.

Rinciannya? Bangun pukul 04.00 untuk Shubuh berjama’ah dan ikut kajian ba’da Shubuh.

Kuliah dari pukul 08.00, istirahat saat siang hari, lanjut lagi pukul 13.00 sampai 17.10, bahkan terkadang adzan maghrib baru balik lagi ke asrama. Itu kegiatan setiap harinya, dan akan lebih pagi lagi bila hari senin dan jum’at, karena ada upacara dan apel pagi.

Malam Selasa dan Malam Jum’at stay di Al-Furqon dari Maghrib sampai isya, untuk mengikuti diskusi wawasan keislaman.

Soal makan, kami harus makan bersama; pagi, siang, dan malam, bersama-sama.Sabtu-Minggu (sejauh ini) diisi dengan kegiatan bimbingan baca qur’an, dan senam pagi. Kedepannya nanti akan ada pelatihan pramuka, soft skill, dan lain-lain.

Nah, persis di pondok pesantren kan?

Kalau saya sih ngerasanya seperti itu, hanya saja mungkin bedanya di sini dengan pondok pesantren kebanyakan, kita tidak menelaah kitab kuning atau tafsir Al-Qur’an, tapi menelaah Tipler dan Hewitt. Kami tidak mendiskusikan Hadist, tapi Asas Bernoulli. Kami tidak menkaji ayat-ayat, tapi Hukum Newton.

Itu saja bedanya, selebihnya semua sama dengan pondok pesantren.

Di antara tugas modul suhu dan kalor, dan tugas presentasi gelombang optik, pop mie dan kopiko 78, sudah banyak yang kami lalui dua bulan lebih ini. Dicerca dosen, dipontang-panting tugas (yang walau gak tidurpun masih gak selesai), setiap harinya. Bahkan sering kali kami pulang kuliah dalam keadaan kepala rasanya mau pecah saja. Setiap harinya. Tugas setiap hari terus bertambah, selesai satu tumbuh seribu.

Tak pernah ada habisnya, bahkan salah satu anggota serdadu 15 dalam seminggu cuma tidur 8 jam saja, dalam satu minggu!!

Untuk apa? untuk menyelesaikan tugas tadi.

Karena apa? karena kalau kuliah tanpa persiapan, akan mengakibatkan cercaan yang luar biasa.

Ya, walau akhirnya dosen-dosenpun mulai melunak karena melihat mata kami yang makin membengkak dan muka kami yang makin gak karuan.

“nah. sekarang kalian sudah keliatan seperti seorang guru“, itu kata Pak Made suatu waktu.

Terpikir, ya beginilah mungkin muka guru, terkantuk-kantuk. hehehe..

Di antara tugas modul suhu dan kalor, dan tugas presentasi gelombang optik, pop mie dan kopiko 78, kok isinya seperti curhat ya? emang curhat sih. hehehe..Curhat tentang 2 bulan lebih waktu yang dilalui di sini. Saya teringat kata-kata Pak Andi beberapa waktu lalu tentang apa itu guru profesional, kurang lebih seperti ini :

“Guru profesional bukanlah guru yang melaksanakan tugas sebaik-baiknya, tapi guru yang punya komitmen yang teguh, komitmen untuk terus menjaga dan meningkatkan mutu pembelajarannya di kelas.Guru yang senantiasa merasa gelisah dengan apa yang dicapai oleh siswanya, guru yang senantiasa merefleksi diri bahwa ketercapaian kompetensi siswanya adalah karena murni cara dia mengajar, sehingga ketika ketercapaian itu rendah, dia berusaha memperbaiki mutu pembelajaran di kelas dengan meningkatkan kualitas dirinya dari aspek konten, aspek pedagogis, aspek kepribadian, dan sosialnya.

Itulah guru profesional.”

Lalu apa hubungannya dengan PPG yang kami ikuti saat ini?

Harapannya dengan PPG ini kami ditempa untuk melatih dan meningkatkan kualitas kami untuk menjadi guru yang profesional. Klise memang, tapi itulah harapan yang ingin dicapai.

Saya tahu banyak pro dan kontra dengan program pemerintah yang satu ini, terlebih karena PPG memperbolehkan semua program diluar kependidikan untuk menjadi guru asal mengikuti PPG. Dan ini artinya sarjana pendidikan di luar sana mesti bersaing dengan sarjana-sarjana lainnya untuk dapat gelar Gr.

“Sarjana-sarjana lain bisa menjadi guru dengan ikut PPG, kalau gitu saya mau ikut profesi dokterlah, biar bisa jadi dokter”,

“Lalu apa gunanya FKIP? bubarkan saja kalau gitu”

“Pemerintah sudah tidak percaya dengan sarjana-sarjana pendidikan, sudah tidak percaya dengan kualitas FKIP, sudah tidak percaya dengan kemampuan dosen-dosen FKIP”

“Profesional tidaknya seorang guru tergantung pribadinya sendiri, belum tentu lulusan PPG benar-benar profesional”

teringat ucap orang-orang saat berdiskusi  tentang PPG ini.

Ya, saya tahu ini jadi kegelisahan bersama.

Di antara tugas modul suhu dan kalor, dan tugas presentasi gelombang optik, pop mie dan kopiko 78, biarlah saya bercerita lebih banyak tentang PPG yang telah kami lalui selama dua bulan lebih ini, lebih banyak, lebih mendetail, setidaknya dengan mengenal dan memahami, setidaknya kita bisa memandang PPG ini dari sudut pandang lain.

PPG terbagi dari dua kegiatan besar, perkuliahan dan kehidupan berasrama.Perkuliahan tidak seperti perkuliahan saat S1 dulu, di sini disebut Workshop SSP (Speciffic Subject Pedagogy), isinya bagaimana merancang, melaksanakan, mengevaluasi pembelajaran di kelas, sesuai dengan  mata pelajaran yang diampu. Dan jangan dikira jadwal kuliahnya juga bakal sama seperti waktu kuliah S1 dulu, yang tiap minggunya sama mata kuliahnya. Di sini, hari senin ini dan senin depan sudah beda lagi kuliahnya. Ketika selesai satu topik, langsung diganti topik lainnya.

Untuk Fisika, walau di KRS tertulis 22 SKS, tapi realnya lebih dari itu. Tak terbayang PJKR yang mesti menempuh 32 SKS.

Semester 1 kami berisi kuliah, peer-teaching untuk setiap siklus, dan seminar proposal penelitian tindakan kelas. walau tiap jurusan memiliki sistem yang berbeda, tapi inti kuliah semester 1 sama. Outputnya adalah perangkat pembelajaran lengkap beserta media untuk seluruh jenjang kelas dan proposal PTK.

Semester 2 nanti akan berisi PPL di sekolah-sekolah mitra sembari melaksanakan PTK yang sudah diseminarkan di semester 1 lalu. Di akhir nanti akan ada uji kompetensi di jurusan oleh ahli dan secara nasional melalui Ujian Tulis Nasional. Dan tentu saja seminar hasil PTK.

Memang fokus perkuliahan ini adalah untuk menempa aspek profesional dan pedagogis.

Untuk kehidupan berasrama, ada 8 kegiatan asrama yang mesti diikuti, secara garis besar intinya tentang bina mental, keahlian, pengembangan minat dan bakat, cinta tanah air, dan lain-lain.

Sebagai contoh, untuk kegiatan bina mental, kami diwajibkan untuk melaksanakan shalat shubuh berjama’ah dan mengikuti kajian ba’da shubuh setiap harinya, dan mengikuti diskusi wawasan keislaman di malam selasa dan jum’at. Ya, diwajibkan. Ada daftar hadir yang mesti kami isi saat kami mengikuti acara. Makan bersama juga seperti itu, ada daftar hadir juga yang mesti kami isi saat makan.Apakah ada penilaian untuk hal-hal tersebut? apakah ada pengaruhnya?

Untuk Asrama penilaian dilakukan melalui kegiatan-kegiatan tersebut. Lah kok shalat dinilai?

Memang terlihat seperti itu, tapi fokus dari kehidupan asrama untuk menempa aspek sosial dan kepribadian. Silakan menafsirkan sendiri.

Bila nanti nilai asrama tidak mencukupi, atau tidak tuntas, peserta PPG tidak diperbolehkan mengikuti uji kompetensi dan UTN, dan itu artinya tidak lulus pendidikannya. Perkuliahan dan kehidupan berasrama saling berkaitan.

Di antara tugas modul suhu dan kalor, dan tugas presentasi gelombang optik, pop mie dan kopiko 78. Biarlah saya bercerita lebih banyak tentang apa yang kami lalui dua bulan lebih ini.

Kenyataan memang tak seindah ekspektasi.

Untuk perkuliahan, tak jarang kami harus menerima ‘hentakan’ keras. ‘tumbukan’ sempurna. ‘hempasan’ luar biasa oleh dosen-dosen di sini.

Karena apa? karena kekurangan kami yang luar biasa, kebodohan kami yang melekat, kejahiliyahan kami yang mengakar. Begitu jauh konsep-konsep yang kami pahami dengan yang seharusnya. Begitu dangkal wawasan yang kami punya dengan yang seharusnya. Begitu sempit pemahaman kami dengan yang seharusnya seorang guru punya.

Kuliah 4 tahun S1 rasanya kurang.

Bahkan salah satu dosen berucap,

“Saya lebih baik mengajar mahasiswa-mahasiswa Fisika Murni daripada mengajar Fisika Pendidikan.

karena Fisika Murni cukup diajari pedagogis, pemahaman konsep mereka sudah matang, maka mereka siap jadi guru. Fisika Pendidikan tidak tahu arahnya kemana, konten setengah bisa, pedagogis juga sama. Jadi gurupun nanti setengah-tengah, yang ada malah menuluarkan salah konsep kepada siswa. Seperti kalian ini”

Deg.. Hati rasanya tercabik, lebay memang, tapi begitulah rasanya, karena kami merasa, saya pribadi terutama, belum bisa apa-apa, belum punya apa-apa, untuk dijadikan modal sebagai seorang guru.  Konten kami gak ‘bagus’, pedagogis apalagi.

Ya idealnya, bagaimana seorang guru bisa membuat paham siswa, jika gurunya sendiri gak paham dengan apa yang akan diajarkan?

Dan saat salah seorang kami berucap,

“kami mangambil dari buku ini karangan si ini”

Kami jadi tahu bahwa sebagian besar buku yang kami gunakan sebagai ‘pedoman mengajar’, bahkan karya penulis terkenalpun, banyak salah konsepnya.

Bagaimana bisa seorang guru tidak mengetahui mana yang benar dan salah konsep pada sebuah bahan ajar yang dia jadikan acuan untuk mengajar?

Saat tugas perancangan pembelajaran diberikan, kami butuh lebih dari 24 jam untuk mengerjakannya. Karena kami harus membaca, memilah, dan menyusun materi sendiri, yang mungkin bila kami paham tentang konten, tak perlu kami butuh waktu sebanyak itu.

Ah… kuliah S1 saja tidak cukup untuk menjadi guru profesional.

Di antara tugas modul suhu dan kalor, dan tugas presentasi gelombang optik, pop mie dan kopiko 78.

Kenapa harus PPG? Pertanyaan ini akhirnya terjawab setelah 2 bulan lebih dilalui.

Karena kuliah S1 saja tidak cukup untuk menjadi guru profesional. Ada banyak hal yang mesti ditingkatkan, ada banyak yang mesti ditempa, ada banyak hal yang mesti diperbaiki. Bukan hanya tentang ‘isi otak’, tapi juga ‘tingkah laku’.

Ane tahu, saat di lapangan kelak, pada akhirnya pribadi masing-masinglah yang berhak memilih apakah kelak menjadi guru profesional, atau guru biasa saja. Ane tahu, saat di lapangan kelak, lulusan PPG  belum tentu menjadi guru profesional.

Tapi, yang saya tahu dan pahami, setelah menjalani ‘tempaan’ selama dua bulan lebih ini, ada semacam idealisme yang tertanam, ada semacam keinginan yang tertancap, tentang kualitas pembelajaran di kelas.

Tak tahulah nanti idealisme dan keinginan ini ketika terjun kelapangan nanti. Namun, hasrat dalam hati, idealisme dan keinginan ini jangan sampai tergerus oleh sekitar.

Oleh keadaan.

Oleh situasi.

yang menjadikan diri jauh dari kata profesional.

Di antara tugas modul suhu dan kalor, dan tugas presentasi gelombang optik, pop mie dan kopiko 78.

Biarlah kami mengenang 2 bulan lebih ini, dan bersiap sedia untuk 10 bulan ke depan. Sambil terus teringat nasehat beliau,

“Fisika tetap fisika, mau diajarkan dengan kurikulum baru, kurikulum lama. Tetap fisika.

Mau diajarkan dengan benar, ataupun dengan salah. Tetap Fisika. Tidak ada pengaruhnya.

Paling cuma kaitannya dengan salah konsep yang diterima oleh siswa, dan itu artinya dosa jariyah bagi yang mengajarkannya, dan tentu saja itu urusannya dengan akhirat kelak.”

Ah berat.. pilihannya:

jadi guru profesional, atau tidak sama sekali.

-Bandung, Tengah Malam, Ruang Makan Asram

(Dikunjungi : 772 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
0
Sangat Suka

Komentar Anda

Share