“Sejatinya pendidikan adalah sesuatu yang sangat mulia juga penuh tantangan. Mulia, hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Tantangan karena menyiapkan generasi muda Indonesia yang kompeten.” (M. Nuh)
Pelayanan pendidikan merupakan barang mewah sulit didapati di daerah yang dikategorikan terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Permasalahan seperti kekurangan jumlah pendidik dan distribusi guru tidak seimbang mengakibatkan akses pelayanan pendidikan tidak berjalan dan berakibat pada buruknya pendidikan Indonesia. Melihat situasi ini, menjadi perhatian khusus pemerintah pusat. Melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) membuat rumusan program untuk mengentaskan permasalahan pelayanan pendidikan tersebut dengan mengirimkan langsung sarjana-sarjana pendidikan ke daerah tergolong 3T yang disebut program sarjana mendidik di daerah 3T (SM-3T). Kesempatan luar biasa saya dapatkan untuk dapat terjun langsung ke daerah 3T dalam hal ini adalah Kabupaten Jayawijaya, suatu wilayah terletak di Pegunungan Tengah Papua
“Tidak ada pertumbuhan di zona nyaman. Tidak ada kenyamanan di zona pertumbuhan”. (Edwin, PH.D.)
Guru di daerah 3T akan dihadapkan pada kondisi di luar zona nyamannya. Menjadi guru di daerah 3T merupakan pengalaman berharga dalam hidup saya pribadi. Terjun langsung dan merasakan permasalahan pendidikan di daerah 3T secara tak langsung membentuk sikap profesional, cinta tanah air, peduli, empati, ketahanan malangan dan bertanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan bangsa Indonesia.
Mengabdi di daerah 3T tidaklah mudah bahkan penuh tantangan. Tidak mudah karena jauh dari kata layak (fasilitas). Perlengkapan sekolah terbatas, gedung sekolah yang sudah reot, kusam, tanpa kursi dan meja, tanpa listrik, murid-murid yang tidak memakai seragam, tidak memakai sepatu, dan terkadang mereka tidak mandi pada waktu datang ke sekolah. Ah…. Apakah bisa bertahan dengan keadaan yang seperti ini”?? Segala keterbatasan di daerah 3T tidak ada kata lain selain “LAWAN”. Lawan segala keterbatasan. Tantangan bagaimana memberikan layanan pendidikan maksimal kepada peserta didik dengan segala keterbatasan. Bahkan dengan keterbatasan akan muncul kreativitas dalam guru 3T. Memanfaatkan sumberdaya di sekitar untuk proses pembelajaran dan memunculkan metode mengajar yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Kondisi keterbatasan tersebut juga membuat guru di daerah 3T belajar. Menjadi manusia pembelajar sejati dan bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan peserta didik dalam serba-serbi keterbatasan daerah 3T.
Berikut beberapa kisah saya dalam melawan keterbasan dalam proses belajar tersebut;
Alam jadikan guru
Proses pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam ruangan kelas. Luar kelas juga bisa menjadi ruang pembelajaran yang menarik. Membawa anak-anak belajar di luar jelas memberikan pengalaman baru mereka. Alam terkembang jadikan guru. Kalimat tersebut serasi dengan pembelajaran yang saya berikan kepada anak-anak.
Sungai jernih mengalir diapit oleh rimbunnya hutan dapat dijadikan contoh materi pembelajaran yang kontekstual. Anak-anak bisa menggali lebih dalam ilmu yang diberikan. Akhir pelajaran kita selaku guru bisa memberikan nilai arti penting menjaga lingkungan. Seperti yang saya ajarkan kepada anak-anak. Saya membawa anak-anak ke sungai. Sungai Elagaima yang ada di lingkungan sekolah menjadi contoh materi pembeljaran pencemaran lingkungan. Anak didik diberikan pemahaman bahwa tidak baik membuang sampah di sungai, karena sungai adalah sumber kehidupan masyarakat sekitar. Saya juga memberikan tugas kepada anak didik untuk menanam pohon di lingkungan sekolah. Agar pohon yang ditanam dapat memberikan udara sejuk bagi lingkungan sekitar.
Akhir pembelajaran biasanya kami membuat lingkaran dan bernyanyi melepas senangnya pembelajaran yang kami lalui.
Biologi asik (word’s square & teka teki silang)
Pembelajaran di dalam kelas baiknya dibuat dalam keadaan menyenangkan dan aktif. Guru harus bisa meramu model dan metode pembelajaran yang cocok agar anak didik termotivasi semangat belajar. Kondisi anak didik saya di SMP Negeri 4 Wamena umumnya mereka kurang percaya diri bila diminta untuk menjawab pertanyaan dan presentasi ke depan kelas. Melihat kondisi tersebut saya mencoba untuk menerapkan pembelajaran biologi asik. Biologi asik ini saya rancang dengan membuat media pembelajaran berupa karton yang sudah dibuat dari rumah sebelumnya. Karton tersebut ditulis seperti teka-teki silang dan juga membuat susunan huruf alphabet yang tidak beraturan yang disebut word’s square. Setiap karton diberikan bisa pertanyaan atau pernyataan, sebagai suatu kunci untuk dapat menjawab pertanyaan dan pernyataan dimaksud.
Biologi asik ini diharapkan bisa memacu anak-anak untuk aktif berpikir saat proses pembelajaran berjalan. Biologi asik hasilnya sangat memuaskan. Anak-anak terlihat sangat antusias. Mereka dibentuk dalam kelompok kecil dan bekerja sama dengan baik dalam menyelesaikan tugas di media karton tersebut. Akhir pelajaran, kelompok yang cepat menyelesaikan pekerjaan diberikan hadiah berupa pulpen dan buku.
Mading
Observasi saya selama bertugas di sekolah mendapati siswa kurang memiliki wawasan luas. Mereka umumnya hanya mengetahui kondisi lingkungan sekitar. Mereka hanya tahu Papua tanpa mereka tahu bahwa Indonesia itu luas, dan tidak hanya Papua saja. Melihat kondisi tersebut, saya berinisiatif untuk membuat majalah dinding atau biasa disingkat Mading. Mading tidak memerlukan modal mahal. Berbekal papan dan karton Mading bisa dibuat. Mading berfungsi untuk membantu anak-anak mendapatkan wawasan dan pengetahuan baru dengan cara membaca. Mading juga sebagai gerakan literasi yang tepat dalam keterbatasan akses buku di sekolahan. Isi tulisan Mading beragam. Mulai dari Indonesia hingga yang kecil tentang Jayawijaya. Saya juga meminta anak-anak untuk membuat tulisan seperti puisi maupun gambar. Tulisan dan gambar terbaik maka akan dimuat di Mading. Adanya Mading tersebut saya berharap anak-anak memiliki wawasan luas dan mendunia.
Dunia lain
Saya mencoba mengajak siswa menyelam lebih dalam untuk menggali pengetahuan baru. Berbekal mikroskop cahaya kepunyaan sekolah saya mengajak anak-anak melihat dunia lain yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mengamati sel, anatomi tumbuhan (daun, akar, dan batang), dll.
Begitu mereka saya ajarkan menggunakan mikroskop, maka mereka akan melihat dunia lain. Tidak lupa, saya meminta siswa untuk menggambar hasil pengamatannya di buku mereka dan membuat keterangan dari gambar yang didapat dalam mikroskop. Tak sampai disana, saya juga melakukan penilaian terhadap siswa dalam penggunaan mikroskop yang baik, tepat dan benar. Hasilnya luar biasa. Anak didik saya kelas VII, VIII dan IX semua bisa menggunakan mikroskop dengan hasil yang baik.
Beragam cerita yang saya dapati selama mengadi di Lembah Baliem. Satu tahun pengalaman mendidik mereka membuat saya sadar bahwa keterbatasan di daerah 3T bukanlah alasan untuk tidak memberikan pelayanan pendidikan maksimal dan bermakna. Karena dalam keterbatasan akan melahirkan kretivitas.
“Nilai seorang manusia terletak pada apa yang ia berikan, bukan pada apa yang ia terima”. (Albert Einstein)