Sepotong Episode*


Pagi ini cuaca masih terasa dingin masuk ke celah-celah dinding rumah yang terbuat dari kayu, rumah swadaya dari ABRI masuk desa bertahun-tahun yang lalu. Rumah kecil dengan ukuran sekitar 4×4 meter berlantaikan kayu dan beratapkan seng tanpa plafon. Sehingga jika panas menyengat di siang hari, saya dan teman teman guru SM-3T merasa di dalam oven raksasa. Sedang asyik menggulung badan karena kedinginan, tiba-tiba jendela rumah tempat tinggal kami diketuk seseorang. Saya pun membuka jendela meskipun dengan kain sarung masih menyelimuti tubuh karena udara dingin.

“Anak Guru..!” wanita paruh baya dengan rambut ikal, bercelana pendek, berbaju kaos dengan balutan jaket tanpa resleting pada bagian depan, memanggilku demikian.  Ya, karena kami bertugas sebagai guru di kampung ini, sudah lebih dari 7 bulan kami menjadi tenaga pengajar di sini.

“Ya Mama, ada apa?” jawabku. Kulihat ada raut wajah sedih dari Mama (Saya tidak hafal semua nama Mama-Mama di sini, hanya hafal beberapa saja atau hafal siapa nama anak-anak dari Mama-Mama yang ada di kampung ini). Ya, Mama yang datang ini saya tidak hafal namanya.

“Begini anak guru, Mama mau minta izin untuk bawa Mama pu anak-anak ini, rencana Mama mo ajak dorang bantu Mama pergi pangkur sagu ke hutan. Ini dari tadi malam Mama dan anak-anak tahan-tahan lapar.”Jawab Mama.

“Aduh Mama kasian e…. Bagaimana e, ini anak-anak dorang sedang semangat-semangat belajar, dorang su mulai bisa membaca, menulis dan berhitung, baru kalau mereka tra sekolah nanti jadi lupa lagi sama mereka pu pelajaran”, tambah saya lagi.

“Iya, anak guru, tapi kalo Mama kasih tinggal mereka dorang, mereka  dorang tra da yang jaga, trada juga yang kasih makan,” tambah Mama lagi dengan nada memelas. Saya pun tidak tega melihat kondisi ini. Bagaikan buah simalakama, jika anak-anak tidak dibawa ke hutan, mereka tidak bisa makan. Saya dan teman-teman pun tidak bisa berbuat banyak. Beras yang kami punya hanya sedikit, itu pun harus kami jatah dua canting untuk sekali masak. Agar cukup sampai beberapa minggu ke depan. Belum lagi kami hanya makan dua kali sehari, siang dan malam saja. Sedangkan pagi kami mengandalkan energen, susu, roti yang sudah kami stok atau pun pisang hasil peraman selama seminggu. Jika anak-anak pergi ke hutan, maka bisa dipastikan lebih dari seminggu bahkan ada yang sampai sebulan mereka tidak datang ke sekolah untuk belajar. Hal ini membuat mereka lupa akan pelajaran yang sudah kami ajarkan, khususnya pelajaran membaca dan berhitung.

Pada akhirnya kami tetap memberi izin Mama untuk membawa anak-anaknya ke hutan dengan syarat hanya beberapa hari saja, tidak lebih dari  tiga hari atau empat hari. Alhasil sekolah yang biasanya ramai dengan anak-anak sekolah, sekarang kurang dari setengahnya yang datang ke sekolah. Meskipun pada akhirnya tiga minggu kemudian baru mereka pulang kembali ke kampung. Kami tidak dapat berbuat banyak, kalau sudah urusan perut tidak bisa ditolerir lagi.

Kampung Taga Epe, Distrik Ngguti, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, tempat saya dan teman teman mengabdikan diri untuk mengajar. Kampung dengan seratus persen memeluk agama Kristen. Tentu tidak ada Masjid dan hanya kami yang beragama Islam. Sekarang Kampung ini telah memasuki musim penghujan. Tujuh bulan terakhir kami hidup di musim kemarau. Sumber air minum berasal dari  kali Atawa yang sebenarnya sudah tidak  berbentuk kali lagi, malah seperti genangan air besar. Warna air kuning, bahkan pernah kami sandingkan dengan minyak goreng dan bensin ternyata memiliki warna yang serupa. Mandi, mencuci pakaian, mencuci piring, semua dari kali yang sama, kali Atawa.  Lebih dari sekadar masalah air, kemarau panjang di sini menyebabkan kebakaran hutan karena dengan mudahnya daun daun kering dan pohon di sini tersulut api. Bahkan gereja tua di depan rumah kami terbakar. Gereja ini beratapkan kulit kayu dari pohon bus, pohon yang yang paling banyak terdapat di kampung ini bahkan mungkin di hutan Merauke, berdindingkan pelepah pohon sagu, sehingga dalam sekejap saja habis dilalap si jago merah. Saya dan beberapa warga tidak bisa berbuat banyak, karena sumber air lumayan jauh. Sehingga yang bisa kami lakukan adalah mencegah jangan sampai kebakaran ini sampai ke rumah-rumah warga.

Musim hujan disambut dengan gembira, terutama oleh anak-anak murid saya. Mereka main hujan, main seluncur-seluncuran layaknya bermain ski. Banyak di antara mereka yang main hujan tanpa busana sedikit pun. Tetapi tenang saja, yang tanpa busana semuanya anak-anak kecil usia enam tahun ke bawah. Mereka menjatuhkan badan mereka begitu saja sambil berlari di tanah yang licin karena hujan. Hingga saat butiran air hujan berhenti turun pun mereka tetap asyik bermain seluncur-seluncuran. Ditambah lagi dengan “meluap” lagi kali yang melintasi kampung ini, mereka pun semakin semangat untuk main air di kali.

Kampung Taga Epe ini terletak jauh di tengah hutan Merauke, jarak dengan kampung terdekat 10 km. Tidak terdapat aliran listrik PLN apalagi sinyal selular. Menurut beberapa warga, dulu Kampung Taga Epe ini memiliki dua genset besar yang dapat menerangi kampung ketika malam hari tiba. Namun karena banyak tangan yang ingin “merawat” hingga akhirnya rusak tidak bisa terpakai lagi. Bahkan sekitar lima tahun lalu pernah perusahaan dari Korea memperbaiki salah satu genset yang tepat beberapa puluh meter dibelakang rumah kami. Namun lagi-lagi genset tersebut rusak lagi dengan alasan yang sama. Hingga akhirnya kami menikmati suasana remang-remang di malam hari saat minyak tanah untuk lampu togok kami habis.

Untuk mencari sinyal pun kami harus berjalan kaki sejauh 20 km lebih menuju kantor distrik. Melewati jalan setapak dengan kiri dan kanan hutan pohon bus dan akasia. Jalanan kering dan berdebu ketika kemarau. Namun berubah menjadi lumpur yang sangat lengket ketika musim penghujan. Jalan di sini adalah jalan lintas antar kabupaten yang dibuka sekitar tahun 90-an yang belum pernah diperbaiki sampai sekarang. Sesekali dalam perjalanan mencari sinyal saya dan teman mendengar suara burung-burung langsung dari sumbernya, alam bebas Merauke. Butuh waktu sekitar 6 jam berjalan kaki untuk sampai ke kantor distrik.melewati jembatan kayu yang yang cukup lebar untuk dapat dilewati kendaraan roda empat. Sungai yang mengalir tenang di bawahnya biasa orang-orang mencari ikan Arwana, atau pun ikan Gastor, Gabus Toraja yang lumayan terkenal di acara memancing popular di televisi.

Sebelum kantor distrik terdapat Puskesmas. Ya lagi-lagi di tengah hutan.  Di kantor distrik terdapat pemancar sinyal kecil dengan radius tidak lebih dari 5 km. Pemancar sinyal hanya menyala dari jam 6 pagi – jam 12 siang serta dari jam 6 petang – jam 12 malam. Kami pun harus menunggu malam hari untuk menelepon ataupun menghubungi keluarga yang kami tinggalkan jauh di tanah Sumatera sana.

Sudah lewat satu semester saya mengabdi dan mengajar di sini, SD YPK Taga Epe. Sudah kelihatan perubahan yang ditunjukkan murid-murid saya. Pada awalnya masih banyak yang malu-malu, sekarang sudah mulai percaya diri. Dari yang malas mandi pakai sabun, sudah mulai rajin pakai sabun. Jelas saja, karena saya dan teman-teman sering mandi bersama mereka di sungai sehingga kami menyediakan sabun khusus mereka mandi. Dari yang tidak bisa berhitung dan membaca, sekarang sudah mulai pandai berhitung dan membaca juga menulis. Saya mengajar murid kelas tiga dan kelas empat dalam satu kelas, tanpa ada sekat. Sekolah tempat saya bertugas hanya terdiri dari tiga ruangan kelas untuk enam kelompok belajar. Bersebelahan dengan SMP yang hanya terdiri dari satu ruangan kelas untuk tiga kelompok belajar. Halaman sekolah cukup luas, hampir dua per tiga lapangan sepakbola. Proses belajar mengajar di sekolah ini sudah lama sekali tidak berjalan efektif. Hal ini dikarenakan tidak adanya guru yang datang  mengajar. Sesekali saja ada orang kampung yang berstatus sukarelawan mengajar di sekolah. Jika tidak ada guru yang datang praktis anak-anak hanya datang ke sekolah untuk bermain. Bukan tidak ada tenaga pengajar di sini. Ada tiga guru PNS dan tiga Guru Honor daerah, tetapi mereka tidak berada di tempat tugas berbulan-bulan lamanya. Bahkan menurut penjelasan masyarakat, nanti beberapa minggu menjelang Ujian barulah guru-guru tersebut datang. Itu pun tidak semuanya yang datang.

Septinus, salah satu murid saya anak berambut keriting dengan sorot mata yang agak sayu, pipi bulat, bertubuh kecil dengan perut agak besar, murid kelas tiga yang sekarang sudah pandai sekali berhitung. Pernah sekali ia tertidur di atas meja, karena lama menunggu teman-teman sekelasnya mengerjakan soal matematika. Padahal saat pertama kali kami datang, Septinuslah yang paling sering menangis dan merajuk karena tidak mau disuruh membaca dan berhitung karena merasa tidak bisa mengerjakannya. Dulu dia tidak tahu punya cita-cita apapun. Sekarang cita-citanya ingin menjadi tentara. Meskipun kadang-kadang anak-anak murid saya sering nakal dan jahil, namun saya akan selalu mendoakan mereka agar hidup mereka menjadi lebih baik di kemudian hari dan bisa mengubah kampung mereka. Hal yang paling dirindukan tentulah sapaan ramah mereka setiap hari ketika lewat di depan rumah atau pun saat bertemu dengan senyum terbaik mereka dan dengan mata yang berbinar binar tanda penghormatan.

Ayam kaki kuning hinggap jendela

Apa kata guru simpan di kepala

Kasih selamat siang kepada Bapak Guru

Kami anak-anak mau pulang sudah…pulang…

Inilah lagu yang setiap hari mereka nyanyikan ketika akan pulang sekolah selepas berdoa. Mengajarkan kalimat penghormatan ingat pesan guru dan pahami apa yang sudah disampaikan. Masih terasa sesak menahan tangis ketika momen perpisahan. Meninggalkan kampung dengan masyarakat  yang ramah dan bersahabat. Meninggalkan keluarga angkat yang telah menganggap saya dan teman-teman bagian dari mereka dengan memberi kami nama dan marga. Banggu Anem Ndiwaen, Banggu Anem nama adat saya, dan Ndiwaen nama marga saya yang diberikan oleh tokoh adat Kampung, Bapak Derek Moteaka Ndiwaen, Bapak angkat kami yang meninggal 22 April yang lalu. Biarkanlah kisah perjalanan dan pengabdian ini menjadi sepotong episode kehidupan yang dapat menjadi pelajaran. Salam MBMI!

*Catatan ini ditulis oleh Ferdi Syahdani (Alumni SM-3T Angkatan V, Penempatan Kabupaten Merauke, Papua), Juara I Lomba Menulis Kisah Inspiratif PPG SM-3T V Universitas Negeri Padang)

(Dikunjungi : 65 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
1
Sangat Suka

Komentar Anda

Share